Pertama sekali mengunjungi Skansen sekitar dua tahun yang lalu. Tepatnya bulan Agustus 2014. Musim panas waktu itu. Bareng suami, abang dan kakak gue. Kebetulan mereka berdua (abang dan kakak) lagi berkunjung ke Swedia. Ketika suami mengajak ke Skansen, awalnya gue tidak terlalu antusias. Namanya waktu itu masih newbie banget, jadi jika berkunjung ke kota besar, apalagi seperti Stockholm, rasanya lebih suka menikmati keindahan pusat kotanya saja. Bukan malah melihat bangunan yang sebenarnya di desa gue pun ada. Tapi abang gue sepertinya tertarik banget, sebelas duabelas dengan suami. Akhirnya mau ga mau ya ngikut.
Berhubung kami datang sudah agak siangan, jadi kurang cukup waktu mengelilingi Skansen yang lumayan luas. Apalagi kakak gue dikit dikit ngeluh kakinya capek. Hahaha. Intinya kunjungan pertama itu kurang berkesan buat gue. Berbeda dengan sekarang, setelah mengunjungi Den Gamle By di Aarhus Denmark dan Jamtli di Östersund Swedia, akhirnya gue pun lumayan bersemangat ketika suami mengajak ke Skansen (again).
Sebenarnya kunjungan kali kedua ke Skansen bisa dibilang tidak ada dalam rencana kami. Terbayang pun tidak untuk datang ke tempat ini lagi. Hingga suatu hari, tepatnya beberapa hari sebelum kami berangkat ke Stockholm dalam rangka menghadiri undangan pesta ulang tahun teman, tiba tiba suami bilang, kalau tiket masuk ke Jamtli (museum udara yang pernah kami kunjungi beberapa bulan lalu), bisa digunakan juga sebagai tiket masuk ke Skansen. Jadi ceritanya suami baru ngehlah, kalau petugas loket di Jamtli pernah memberitahu dia terkait penggunaan tiket ini. Awalnya gue tidak yakin. Apalagi suka ga percaya kalau “yang di sini” bilang bisa, “yang di sana” bilang ga bisa. Pengalaman birokrasi di kampung halaman.
Berhubung gue lumayan sering menyimpan segala kertas yang berkaitan dengan perjalanan liburan kami (seperti tiket, brosur, slip bayar bayaran sampai map), maka tanpa bersusah payah mencari, dua buah tiket Jamtli langsung di tangan. Sampai akhirnya kami tiba di Skansen, sempat ada sedikit keraguan. Takut tiketnya ditolak. Tengsin banget kan kalau sampai kejadian. Dan pas nanya ke bagian loket, ternyata ga pake birokrasi lama, kami langsung diperbolehkan masuk. Dan pakai bonus lagi, tanpa harus melalui antrian yang lumayan panjang. Ahhh rejeki pasangan soleha.
So, jika ada pertanyaan, tempat wisata apa yang terkenal di Stockholm dan rasanya wajib untuk dilihat? Salah satunya adalah Skansen. Terletak di Djurgarden, sebuah kawasan pulau kecil di Stockholm. Tidak hanya dikenal sebagai museum udara (open air museum) pertama dan tertua di Swedia, tetapi juga yang terluas. Sangkin luasnya, rasanya butuh waktu seharian untuk bisa maksimal mengelilinginya.
Skansen pertama sekali didirikan oleh seorang pria bernama Artur Hazelius pada tahun 1891. Sebagai kolektor barang antik dan pencinta sejarah, beliau pun memboyong bangunan bangunan tua dari berbagai pelosok daerah di Swedia. Mulai dari bangunan rumah, bank, pabrik roti, sampai bangunan gereja. Tujuannya cuma satu, Hazelius ingin memperkenalkan bagaimana budaya masyarakat Swedia jauh sebelum era industrialisasi masuk ke negara ini. Jadi jangan heran, jika berada di Skansen, akan sangat mudah melihat kumpulan rumah rumah kayu tua, yang berdiri di beberapa lokasi area museum.
Tidak hanya itu, Skansen pun disulap agar terlihat lebih menarik, dengan menata sekitar museum sedemikian rupa, banyak pohon dan bunga, kebun binatang, taman bermain, sampai sebuah arena panggung besar yang rasanya menjadi ajang pentas musik di saat summer. Pentas musik yang lumayan sering disiarkan di stasiun TV lokal Swedia. Bahkan beberapa bangunan kincir angin pun sengaja dipindahkan untuk memberi nuansa bahela di kawasan museum.
Berada di Skansen, seperti terbawa ke lingkaran waktu ratusan tahun silam. Jaman dimana orang masih menggunakan peralatan apa adanya. Jauh dari modernisasi. Barang barang masih terbuat dari bahan kayu, seperti ember, piring, sendok dan perlatan rumah tangga lainnya. Tapi tidak sedikit juga yang menampilkan barang retro dalam bentuk porselin dan keramik. Bahkan di museum udara ini, juga terdapat tiang batu (gue sebut tiang batu aja deh biar gampang, haha) yang dulunya dipakai sebagai batas pengukur jalan. Tiang batu yang menjadi tolak ukur untuk hitungan jarak per satu mil.
Di tulisan gue sebelumnya, gue sudah pernah menyinggung tentang Root Cellar, gudang yang di jaman dahulu kala memiliki fungsi layaknya sebuah kulkas. Mampu membuat bahan makanan menjadi awet dan tahan lama di dalamnya. Hal ini disebabkan karena suhu di dalam Root Cellar cenderung stabil, baik di saat musim panas maupun musim dingin. Nah, kebetulan Root Cellar bisa dilihat di Skansen. Lengkap dengan contoh contoh makanan apa saja yang bisa di simpan di dalam. Ada telur, toples berisi selai, sayuran, roti dan masih banyak lagi.
Kadang ada perasaan excited juga sih, ketika gue melihat beberapa barang antik dan bangunan bersejarah di Skansen, yang notabene pun ada di dalam kehidupan gue sehari hari. Seperti Root Cellar, teaset retro sampai bangunan rumah kayu berumur 400 tahun lebih. Biasalah, kalau sebelumnya kurang memaknai barang peninggalan yang ada di sekitar rumah, setelah melihat tempat seperti Skansen atau museum lain, otomatis ada semacam perasaan “ohhh yang di rumah ternyata barang available ya”. Gimana ga gue bilang begitu coba, tempat wisata sekelas Skansen aja bangga banget menjadikan peninggalan budaya menjadi sesuatu yang layak dilihat, dan untuk bisa melihatnya pun harus bayar kan. Jadi wajar saja kalau akhirnya gue memiliki perasaan luar biasa, ketika melihat barang barang yang ada di rumah, ternyata ada juga di Skansen.
Gambar di atas ini merupakan Root Cellar di samping rumah gue. Masih berfungsi dengan baik. Biasanya kami gunakan untuk menyimpan bahan makanan dalam jumlah yang banyak. Seperti kentang dari hasil bercocok tanam, selai Lingonberry dalam jumlah yang banyak, bahkan sampai buah semangka jika ukurannya lumayan besar. Praktis membuat kulkas ga gampang penuh dan sesak.
Ketika mustahil rasanya di jaman modern ini, bisa berpapasan dengan seseorang yang mengenakan pakaian ala ala Little Missy, Laura Ingalls, (tau kan siapa yang gue sebut? kalau ga coba google aja, itu serial kesukaan gue. Angkatan sepuh..haha), maka old town Skansen memberi peluang untuk itu. Berjalan kaki menyusuri jalanan di Skansen, dan tiba tiba berpapasan dengan wanita yang meneteng keranjang, kepala ditutupi kain tipis, dan tentu saja mengenakan pakaian tradisional dengan ukuran rok yang memanjang menutupi kaki. Bisa banyangin kan lucunya.
Ohya, ada satu cerita yang setidaknya lucu menurut gue. Awalnya gue ga kepikiran untuk melihat apalagi memperhatikan. Itu pun karena suami yang pertama berkomentar. Menurut gue tidak ada yang istimewa, cuma tiang listrik biasa. Di Indonesia juga banyak. Sampai akhirnya barulah nyadar, tiang listrik yang gue lihat di Skansen termasuk barang yang lumayan jadul (versi Swedia tentunya). Disebut lumayan jadul karena sebagian besar wilayah di negara ini sudah tidak menggunakan kabel listrik yang dipasang di tiang. Melainkan sudah ditanam di bawah tanah. Menurut ngana lucu ga sih. Kalau gue sih lucu. Wong di kota asal gue sampai sekarang pun tiang listrik masih banyak. Hahaha. Sombong banget yak, tiang listrik begini langsung masuk klasifikasi model bahela. Apa kabar di kampung gue sana, yang talinya pun kadang asal main lilit aja.
Old town Skansen juga memiliki bangunan bangunan apik seperti bank, toko roti sampai pabrik kaca. Bahkan di pabrik kaca, pengunjung bisa melihat cara pembuatan barang pecah belah yang terbuat dari bahan kaca. Buat kami cukup sekali saja masuk ke dalam, untuk kunjungan kali ini rasanya tidak perlu lagi.
Yang paling gue suka ketika berada di lokasi kota tua Skansen adalah ketika berjalan di jalanan kecil berbatu, yang kiri kanannya terdapat bangunan antik dari kayu. Jalanan dan bangunan yang sepertinya menjadi satu kesatuan spot paling menarik menurut gue. Belum lagi di beberapa titik jalan terdapat kereta kuda, gerobak dan drum kayu serta karung berisi sesuatu (ga tau apa isinya haha), yang memang sengaja dibuat sedemikian agar nuansa kota tuanya makin berasa. Bahkan sebuah bangunan bertuliskan Konsum, sebuah supermarket terkenal di Swedia yang tetap eksis dari dulu hingga sekarang pun ada.
Melihat sejarah masa lalu yang disajikan Skansen, langsung berpikir betapa hidup di jaman sekarang itu sangat praktis. Semua relatif lebih gampang. Contohnya, karena dari kecil suami sudah terbiasa dengan roti, maka jenis makanan karbo ini wajib ada di rumah gue. Dan itu pun lebih banyak gue beli di supermarket. Kalaupun harus baking sendiri, tinggal masukin mesin, lalu oven, puter suhu, jreng jreng jreng….15 menit matang. Cepat kan.
Namun berbeda dengan kehidupan orang dulu, mau tidak mau roti harus dibuat sendiri. Dan semuanya dilakukan secara manual. Pakai tangan! Tidak ada yang namanya mesin pengaduk roti, food processor, mixer, atau apalah. Peralatan serba terbatas. Tangan harus siap pegal. Karena mereka tidak punya pilihan lain (atau jangan jangan orang dulu ga kenal kata pegal kali ya). Kalau sekarang kan beda, apa apa serba mesin. Atau setidaknya masih bisa milihlah, mau manual apa cara canggih.
Dan mungkin juga, di jaman dulu belum ada baking powder, belum ada tepung dengan embel embel terigu protein tinggi, sedang dan rendah. Main libas aja semua. Panggangan juga nihil pengatur suhu. Gimana mau ngatur suhu coba, wong dipanggang cuma pakai kayu bakar. Belum lagi harus menyiapkan tungku api, yang sekaligus digunakan sebagai penghangat ruangan. Sambil terus menunggu agar tembok di tungku api benar benar panas. Karena di sebelah tembok inilah nantinya roti akan dipanggang. Dengan kata lain, suhu panas di tempat pemanggangan roti, bersumber dari tembok panas di tungku api. Untuk memasukan roti ke tempat pemanggangan pun harus menggunakan sodokan kayu panjang. Kapan lagi bisa merasakan kehidupan abad silam seperti ini, kalau bukan karena berada di kawasan seperti Skansen. Menariknya lagi, pembuatan roti diperagakan oleh tangan tangan tua wanita Swedia, lengkap dengan pakaian tradisionalnya.
Skansen memang identik dengan kehidupan masa lampau. Apalagi jika melihat bangunan bangunan yang ada di kawasan museum, semuanya serba antik. Sekilas mirip rumah adat di Indonesia. Misalnya seperti atap bangunan yang terbuat dari tumpukan jerami, serasa mengingatkan gue dengan bangunan rumah di pedesaan pulau Jawa.
Sekilas terlihat sama, namun sebenarnya bangunan yang dikumpulkan dari berbagai pelosok Swedia ini berbeda detail satu sama lain. Bangunan rumah yang berasal dari Halland misalnya, salah satu propinsi di bagian selatan Swedia. Atap rumah selalu ditutup dengan tumbukan batang jerami yang sangat tebal. Wajar, karena propinsi ini memang mampu memproduksi gandum dalam jumlah yang lumayan banyak. Jerami yang berasal dari batang gandum sangat mudah di dapat dan dijadikan sebagai atap bangunan.
Masih dari Selatan Swedia, bedanya propinsi ini sudah berada di wilayah paling Selatan. Propinsi Skåne memiliki bangunan rumah yang bisa dibilang berbeda dari propinsi lain. Di saat sebagian besar rumah kala itu terbuat dari kayu, Skåne malah memiliki bangunan yang terbuat dari dinding batu. Wilayah Skåne memang sudah terbilang dekat ke pinggiran laut. Bisa dibilang hampir tidak memiliki lahan hutan yang luas. Sehingga untuk membangun rumah berbahan kayu pun menjadi sulit.
Di bagian lain ada Mora Garden. Di sini terdapat bangunan rumah yang barasal dari kota Mora, Dalarna. Gue sempat tertawa ketika melihat bentuk bangunannya. Serasa gue liburan di desa sendiri. Karena buat gue, model bangunannya familiar sekali. Dalarna adalah salah satu propinsi yang dikenal sebagai penghasil kayu terbanyak dan terbaik di Swedia. Hampir sebagian besar wilayahnya dikelilingi lahan hutan. Hal inilah yang mengakibatkan bangunannya tidak sekedar terbuat dari kayu biasa, melainkan dalam bentuk balok kayu utuh. Lagi lagi wajar, karena warganya hidup diantara lahan hutan yang tumbuh subur.
Kunjungan kami ke Skansen kali ini bertepatan dengan musim gugur. Dan kebetulan pula, Skansen sarat dengan pohon Maple dimana mana. Berwarna kuning cerah serta orange kemerahan. Indah sekali. Pengen gue fotoin semua. Musim gugur berasa banget di Skansen saat itu. Dan enaknya lagi, pengunjung yang datang tidak seramai di saat musim panas. Dan lucunya, meskipun gue belum pernah berkunjung ke negeri China, entah mengapa ketika berada di Skansen, gue serasa menikmati musim gugur di negeri Tirai Bambu itu. Kebanyakan nonton serial silat sepertinya. Atau bisa juga karena mimpi yang sekian lama gue simpan untuk bisa berjalan di lorong Great Wall of China yang wonderful itu. Semoga kelak kesampaian ya. Amin.
Ketika kaki mulai lelah, bolehlah untuk sekedar duduk dan melonggarkan nadi, sambil menikmati landscape kota Stockholm yang indah. Skansen sudah mempersiapkan bangku bangku kayu di beberapa ruas jalanan di sekitar museum. Terutama lokasi yang memperlihatkan view kota Stockholm dengan baik. Jangan lupa menikmati Swedish Meatballs versi Solliden, restoran besar di Skansen yang siap melayani anda. Bulatan bulatan daging berlapiskan saos lumayan melimpah, ampuh membuat perut untuk tidak berontak kelaparan.
Saran gue, jika ingin mengelilingi Skansen keseluruhannya, ada baiknya fokus seharian di tempat ini saja. Tidak ada agenda lain. Karena museum udara ini luas banget. Jadi dengan waktu yang lumayan longgar, kesempatan untuk melonggarkan kaki yang pegal pun ada. Tidak terburu buru maksudnya. Kami saja pun yang masuk mulai dari pukul 10 pagi sampai pukul 3 sore, rasanya belum benar benar bisa melihat semuanya.
Ohya, jangan lupa untuk mencoba Bergbana, train kecil yang membawa turun dari ketinggian Skansen menuju pintu keluar. Lumayan loh, jadi ga perlu capek jalan kaki lagi.
See you in my next story
Salam dari Mora,
Dalarna, Swedia
rumah miskin masa lampau itu kecil banget kak
LikeLike
Iya win, kecil ya. Tapi memang bangunan mereka suka boong gt. Dari luar keliatan kecil pas masuk lumayan luas. Hehe
LikeLike
Itu beneran mbak masih ada perempuan yg pakaiannya kaya diserial little missy itu?? Aku suka banget sama serial itu soalnya…auranya disana gmna gitu,keren abis,yg suka foto” bisa kalap deh…
LikeLike
Beneran kok. Di museum ini ada yang berpakaian gt. Yang di museum Jamtli lebih banyak lagi. Lebih dasyat haha
LikeLiked by 1 person
Waduh jd pengen cpt” kesana, hehehe
LikeLike
Atap rumah dari jerami unik banget mba helen..
Kalo rumah yang dihuni keluarga miskin itu sebagian di dalem tanah atau gmn mba? kok ya keliatannya kecil amat… #penasaran mode on nie.
Saya selalu suka banget baca postingan mba helen…ceritanya detail banget..
LikeLike
Iya tina, unik ya, aku juga suka banget liatnya. Kalau rumah yang dihuni orang miskin, bagian dalamnya aku ga liat. Cuma dari luar. Tapi biasanya, terliat kecil dari luar setelah masuk malah lumayan lebar. Kalau lihat bangunannya sebagian tertimbum tanah ya. Makasih tetap aktif baca blog saya 👌🏼👌🏼
LikeLike