Suatu waktu di saat liburan musim panas, saya dan suami berkunjung ke salah satu kota bernama Luleå. Suami sudah wanti wanti jika kami harus singgah ke kota ini. Ternyata Luleå punya wisata unik. Namanya Gammelstad Church Town, sebuah kota wisata yang sangkin uniknya sampai ditetapkan sebagai UNESCO World Heritage Site.
Gammelstad Church TownRumah rumah kayu berwarna merah di belakang saya punya cerita sejarah
Di sinilah berjejer rapi rumah rumah kayu berwarna merah layaknya komplek hunian pada umumnya. Jika belum mengetahui cerita sejarah dibalik berdirinya bangunan rumah rumah ini, sekilas tidak ada yang istimewa. Cuma bangunan rumah. Tapi begitu tahu jika bangunan ini dibangun untuk apa, barulah masuk akal kenapa sampai dibilang unik.
Sekitar tahun 1600an, masa belum ada moda transportasi, tak sedikit warga Swedia yang bermukim sangat jauh dari lokasi gereja. Buat mereka perjalanan menuju gereja butuh waktu hingga berhari hari. Sebagai negara pertama yang menganut paham Luthern, penerapan aturan gereja kala itu sangat kuat di Swedia.
Barisan rumah rumah ini khusus dibangun warga untuk nantinya digunakan sebagai hunian sementara jika mereka beribadah ke gereja
Setiap warga harus menjadi Luthern. Harus protestan. Harus beribadah ke gereja. Harus dan tidak boleh tidak. Bagi orang orang yang tinggalnya sangat jauh dari gereja diberi kelonggaran. Misalnya dalam setahun diperbolehkan absen beberapa kali tidak mengikuti kebaktian minggu. Setiap beribadah mereka akan didata. Istilah garangnya “diabsen” .
Church Town selalu identik dan dekat dengan bangunan gereja Rumah rumah ini pertama sekali dibangun tahun 1600 an. Jumlah mencapai 400 lebih. Sudah mirip sebuah kota. Padahal ini bukan untuk ditinggali selamanya. Hanya ketika warga akan beribadah ke gereja
Jika perjalanan menuju gereja saja butuh waktu berhari hari, bagaimana pulangnya? Butuh waktu berhari hari juga dong. Waktu dan tenaga lumayan terkuras. Mereka butuh waktu untuk beristirahat sebelum mereka kembali pulang ke rumah masing masing.
Lantas dimana mereka tinggal? Jika bicara tentang abad ke16, kehidupan di Swedia masih serba terbatas. Penginapan belum ada. Jalan satu satunya adalah membangun rumah di sekitar lokasi gereja. Di sinilah mereka tinggal sementara sebelum akhirnya pulang ke rumah mereka yang sebenarnya.
Bangunan gereja
Bayangkan…..membangun rumah di masa itu tidaklah mudah. Tapi mau tidak mau harus dibangun. Karena setiap warga wajib ke gereja. Suka atau tidak suka. Karena jika tidak, ada sanksi yang akan mereka terima. Mereka harus membayar denda.
Ketika melihat secara langsung barisan rumah rumah ini, saya sulit percaya ketika tahu alasan warga membangunnya. Sebuah perjuangan. Saya tidak tahu apa yang ada di pikiran mereka saat itu. Apakah mereka rela, sukacita atau terpaksa. Apakah mereka benar benar ingin memuliakan Tuhan atau tidak. Hanya mereka yang tahu.
Hanya karena gereja sangat jauh dari rumah mereka, bangunan rumah ini pun menjadi ada. Luar biasa.
Rumah rumah di Gammelstat Church Town sudah lumayan banyak yang mengalami renovasi. Bahkan ada yang sudah diperbesar. Hingga saat ini semua bangunan rumah di Gammelstat church town masih ada pemiliknya (privat). Ditempati dan bahkan ada yang sedang proses dijual ke publik.
Rumah sengaja dibangun di dekat gereja.
Gammelstat Church Town memiliki 408 rumah. Buaaaanyak banget! Mirip sebuah kota. Kota gereja tepatnya. Bangunan rumah rata rata berukuran kecil dan tidak terlalu tinggi. Pun susunan kayu tidak begitu rapi. Semua rumah nyaris berdempetan. Berbeda dengan tipikal rumah hunian Swedia yang pada umumnya saling berjauhan.
Seiring waktu rumah rumah ini bertambah fungsi. Tidak melulu karena ibadah gereja, warga juga menempati rumah kedua mereka ketika menghadiri pertemuan besar, pasar natal, pasar tradisional dan perayaan musim panas yang lagi lagi kala itu selalu diadakan di sekitar lokasi gereja.
Swedia dulunya memiliki banyak “Church Town”. Setidaknya 71 church town pernah berdiri di seluruh wilayah Swedia. Tapi yang masih bertahan dan tetap lesatari hingga saat ini hanya tinggal 16 church town. Church town yang paling luas dan besar serta the best adalah Gammelstad churh town di Luleå ini.
Lebih detailnya keunikan bangunan rumah rumah di Gammelstad Church Town bisa dilihat pada rekaman sederhana pada video di bawah.
Kenapa church town di Swedia bisa sebanyak itu? karena power gereja di masanya sangat kuat di Swedia. Bisa dibilang di masa itu “semua tentang gereja”. Raja dianggap sebagai utusan Tuhan. Raja hanya mendengar dan menjalankan apa yang menurutnya baik untuk Tuhan. Raja tidak perlu mendengar keluhan rakyat tapi suara Tuhan.
Sehingga keluarlah ultimatum setiap warga harus ke gereja. Bagaimanapun caranya. Jadi bukan karena panggilan hati. Pengenalan agamanya bukan melalui penyebaran firman dan pendekatan secara rohani.
Tidak usah jauh jauh deh. Di desa tempat saya tinggal, orang orang harus berkuda sekitar 50 kilometer menuju gereja. Bahkan orang orang yang tinggal di pulau ada yang meninggal karena mereka harus berjalan di atas danau yang belum benar benar membeku dan tenggelam ke air yang super dingin. Gereja berada di pulau lain. Dan waktu itu belum ada jembatan penghubung antar pulau.
Ini juga church town. Tapi beda wilayah.
Tidak sedikit yang menerima dan menjalankan aturan gereja dengan sukarela dan sukacita. Tapi tidak sedikit juga yang hopless, kecewa dan marah. Sehingga kemiskinan kala itu dan kerasnya aturan gereja membuat warga Swedia banyak yang berimigrasi ke Amerika Serikat. Waktu itu selevel pendeta tidak hanya disegani tapi juga ditakuti. Bahkan tanda tangan seorang pendeta sangat menentukan apakah seseorang bisa keluar mengadu nasib ke Amerika/negara lain atau tidak.
Rumah suku sami. Sengaja dibangun karena rumah warga sangat jauh dari gereja. Härbre, bangunan khas orang Swedia. Sengaja dibangun karena rumah warga sangat jauh dari gereja.
Semua aktivitas dan perayaan tahunan harus berpusat di sekitar gereja. Jadi warga yang tinggalnya sangat jauh dari gereja harus membangun rumah di sekitar gereja sebagai tempat persinggahan sementara. Inilah yang membuat mengapa church town relatif banyak di Swedia.
Church Town lain yang sempat kami singgahi adalah Lappstaden Arvidsjaur. Berada di Lapland dan bangunannya masih lebih tradisional. Lagi lagi dibangun warga karena tempat tinggal mereka sangat jauh dari gereja.
Setengah bagian dari keseluruhan bangunan di Lappstaden Arvidsjaur adalah bangunan suku Sami. Sebagiannya lagi bangunan Härbre milik warga Swedia. Hingga sekarang bangunan bangunan ini masih ada pemiliknya. Jadi bukan open air museum. Tapi turis bisa mengunjungi tempat ini setiap saat. Dibuka untuk umum selama 24 jam penuh.
Masing masing pemilik rumah rumah hingga saat ini masih rutin melakukan kegiatan tahunan. Di bulan Agustus biasanya mereka mengadakan pertemuan dan perayaan besar. Sekedar meneruskan tradisi yang ada.
Lain lagi di wilayah Rättvik Dalarna Swedia, tidak jauh dari halaman gereja berdiri barisan rumah rumah kayu kecil yang sangat tradisional. Bedanya bangunan kayu ini bukan untuk manusia melainkan untuk ternak kuda.
Ini bukan rumah hunian manusia melainkan rumah untuk kuda. Dibangun di sekitar halaman yang tidak jauh dari gereja.Kandang kuda ini sengaja dibangun agar kuda warga bisa beristirahat di sini ketika warga sedang beribadah. Gila ya…sampai khusus membangun kandang kuda. Barisan kandang kuda ini menjadi wisata unik di Dalarna Swedia.
Bayangkan hanya untuk beribadah ke gereja mereka khusus membangun rumah untuk kudanya. Kenapa? ini terkait jika musim dingin tiba. Jadi ketika mereka beribadah, kuda kuda ini tidak akan kedinginan. Habis beribadah mereka akan kembali lagi ke rumah masing masing. Setidaknya 192 kuda bisa ditampung di rumah rumah kuda ini. Amazing!
Klik video di bawah untuk melihat secara detail rekaman church town di Lappstaden Arvidsjaur
Lantas bagaimana power gereja di Swedia di jaman serba digital sekarang? lambat laun mulai berkurang. Setiap orang bebas menentukan pilihan. Bebas untuk tetap beriman kepada Tuhannya atau bebas untuk menjadi seorang yang tidak percaya.
Bebas menyembah apa saja sekalipun selevel doraemon, kalajengking, ironman, spiderman atau apalah itu. Kekecewaan akan catatan sejarah di masa lampau bukan tidak mungkin membuat rakyat Swedia memilih untuk tidak percaya Tuhan. Iya…tak bisa dipungkiri jika Swedia adalah salah satu negara yang penduduknya lebih banyak memilih menjadi Atheis.
Gue yakin kalian pasti asing dengan kata “Fäbod”. Dimaklumi.
Fäbod merupakan sebutan yang sangat familiar dan sudah tidak asing lagi di propinsi Dalarna Swedia. Sudah ada sejak 450 atau 500 tahun silam. Bahkan hingga saat ini (meskipun tidak banyak lagi) masih ada fäbod yang bertahan.
Fäbod merupakan sebuah sejarah. Sejarah peradaban masa silam di sebagian wilayah Dalarna yang mostly menggantungkan hidup dari bertani.
Fäbod bisa dibilang sebuah “kawasan” yang dihuni secara “musiman”. Tepatnya hunian di saat musim panas. Tapi fäbod bukanlah summer house yang identik dengan liburan musim panas, santai, me time atau apalah itu yang menyegarkan badan dan pikiran, melainkan hunian yang dipakai para petani ketika harus tetap menggembalakan ternak mereka.
Mmmm…..bisa diperjelas lagi?
Jadi begini…
Dalarna itu adalah salah satu propinsi di Swedia yang sebagian besar wilayahnya dikelilingi hutan pinus, danau maupun sungai. Dalarna juga relatif lebih dingin dibanding ujung selatan Swedia. Sudah dekatlah ke perbatasan bagian utaranya. Sedangkan lahan lahan kosong untuk pertaniannya pun sebagian besar relatif terbatas.
Faktor geographis ini membuat Dalarna kurang bisa maksimal menghasilkan produksi tanaman pertanian termasuklah rumput untuk bahan pangan ternak. Ditambah lagi Dalarna mengalami musim dingin yang relatif lebih panjang dan lama.
Ketika musim panas tiba, para petani di sebagian wilayah Dalarna memaksimalkan keterbatasan lahan dengan menanam rumput di sebagian lahan yang mereka punya untuk kemudian digunakan untuk makanan ternak.
Berhubung lahan terbatas, hasil panen di musim panas ini pun otomatis tidak mencukupi stok pangan ternak untuk satu tahun penuh. Kasarnya hanya cukup untuk stok musim dingin. Bahkan rumput liar yang tumbuh di sekitar hutan dekat rumah pun tidak ketinggalan dipotong untuk dijadikan stok pangan ternak.
Lalu masalah pun muncul. Jika rumput liar dan rumput yang sengaja ditanam tidak mencukupi, bagaimana kelangsungan hidup ternak ternak ini di saat musim panas tiba?
Kemudian muncul ide….
Selama musim panas para petani akhirnya tidak membiarkan ternak untuk tinggal di sekitar lingkungan tempat mereka tinggal. Karena jika tidak, otomatis tanaman rumput bakal habis dimakan ternak. Padahal itu akan digunakan untuk stok musim dingin.
Lalu kemana ternak ternak ini dibawa? Ke sebuah wilayah yang lumayan jauh dari tempat tinggal mereka. Seberapa jauh? Bisa 10 hingga 40 kilometer.
Hah? ….Terus setiap hari pulang pergi bawa ternak segitu jauh? 400 tahun silam belum ada kendaraan toh. Bawa ternak sapi pula. Sapi kan gendut gendut. Belum lagi bawa ternak lainnya. Kuda, domba, ayam, itik…ble ble ble.
Nah, itulah gigihnya mereka. Mereka sadar jika harus pulang pergi setiap hari sudah jelas akan sangat merepotkan. Selain tidak efesien di waktu juga akan menguras tenaga. Bisa bisa belum sampai tujuan uda keburu malam.
Sehingga mau tidak mau mereka harus rela membangun hunian baru di kawasan dimana mereka akan menggembalakan ternaknya. Biasanya kawasan yang dipilih adalah dataran yang agak tinggi dan tetap dekat dengan hutan. Di sini mereka bikin rumah sendiri, ngebor air secara manual dan semuanya serba bikin sendiri. Selama musim panas mereka berpindah ke hunian baru ini. Kawasan inilah yang kemudian dinamai FÄBOD.
Sapi di sebuah kawasan fäbod yang masih bertahan hingga saat ini
Sepanjang musim panas mereka jarang bahkan nyaris tidak menempati rumah di desa mereka. Mereka bekerja menggembalakan ternak agar tetap kenyang menikmati rumput di kawasan fäbod.
Kemudian setelah musim panas usai, mereka pun kembali ke desa berikut dengan seluruh ternak. Saat musim dingin tiba ternak pun tetap kenyang memiliki asupan stok makanan karena di saat musim panas tanaman rumput di sekitar desa sama sekali tidak dimakan ternak.
Setiap desa di sebagian wilayah Dalarna rata rata warganya membangun kawasan fäbod. Bahkan satu desa masing masing warga bisa memiliki fäbod yang berbeda beda. Gue sendiri masih bisa melihat peninggalan fäbod warisan keluarga suami.
Tapi tidak semua wilayah di Dalarna memiliki Fäbod. Jika lahan mereka mencukupi, mereka tidak perlu membangun kawasan fäbod.
Fäbod umumnya ada di wilayah yang lahan pertaniannya terbatas. Lebih banyak hutannya. Contohnya seperti warga di wilayah Selatan Swedia, mereka memang tidak memerlukan Fäbod. Karena wilayah selatan Swedia memiliki lahan pertanian yang lumayan luas dan cuaca yang lebih hangat.
Meskipun ada satu dua fäbod yang masih bertahan hingga saat ini, Fäbod lebih diingat sebagai peninggalan sejarah. Saat ini sistem pertanian sudah sangat canggih. Tapi fäbod mengingatkan generasi ke generasi betapa beratnya usaha petani di masa silam untuk bisa bertahan hidup.
Namun dari sekian banyak Fäbod di Dalarna ada beberapa yang justru menjadi tujuan wisata. Sebut saja seperti Fryksås Fäbodyang sangat terkenal dengan keindahan landskapnya dan Kättboåsen Fabodar.
Rumah di kawasan fäbod yang sering gue kunjungi. Dalamnya bersih loh dan antik. Tanpa polesan make up dia. Haha..
Kättboåsen Fabodar adalah kawasan fäbod yang tidak terlalu jauh dari tempat tinggal gue. Setiap tahun gue dan suami selalu mampir ke sini. Entah mengapa gue selalu suka. Keaslian lingkungan sekitarnya membuat gue seolah lupa jika gue hidup di tahun saat ini.
Sapi di sekitar fäbod
Kättboåsen Fabodar dikelola pasangan suami isteri yang sangat setia dengan kehidupan jaman bahela. Bayangkan setiap musim panas mereka bener bener menjalankan apa yang dilakukan para petani Dalarna ratusan tahun silam.
Bunga menjadi lebih cantik ketika berada diantara yang rustic
Mereka meninggalkan rumahnya dan hidup dengan ternak ternaknya selama musim panas di kawasan fäbod milik mereka. Rumahnya beneren ga dipoles. Apa adanya seperti ratusan tahun silam. Perlengkapan peralatan di dalam rumah pun masih orisionil.
Semakin kusam warna kayunya semakin tertarik orang berkunjung haha
Setiap kami ke sana mereka selalu berpakaian tradisional Dalarna. Masak pakai kayu bakar, cuci tangan di baskom bukan di wastafel. Beneran kehidupan jaman dulu.
Setiap musim panas mereka membuka ruang untuk turis tanpa dipungut biaya. Paling mereka mendapat keuntungan dari hasil menjual roti, keju, cake yang mereka buat sendiri. Kejunya mereka bikin sendiri loh dari ternak sapi mereka. Cakenya juga enak. Beneran deh, apa saja akan menjadi lebih nikmat jika disantap di suasana jadul seperti ini. Karena berasa serba terbatas kan.
Sekitar halaman fäbod yang adem asri
Ngopi sambil dengerin suara aummm sapi dan kukuruyuk ayam yang super montok, mencium aroma asap kayu bakar, hingga kabin kabin tua yang super rustic. Beneran lupa kalau sekarang uda tahun 2019. Hahaha.
Nah….di sini ngopinya.. sesimple itu Marimar! Air panasnya dibakar di atas kayu bakar. Lupakan mencari air kemasan botol di sini.
Ember kayu jaman dulu dan kuali besi hitam yang masih bertahan
Semua turis yang ke sini tidak pandang umur. Anak anak, remaja, dewasa dan tua. Semua menikmati dan antusias mengelilingi kawasan fäbod. Berikut beberapa gambar di kawasan Kättboåsen Fabodar yang masih bertahan hingga saat ini.
Mereka juga nanam grain untuk menghasilkan tepung ryeIni kucing mereka. Cute banget. Begitu hendak gue foto sepertinya dia tau. Dia berhenti loh dan menoleh gitu. Ini Foto empat tahun lalu dan sampai sekarang si kucing ini masih ada.Jerami
Jaman sekarang tidak sedikit yang menjadikan bangunan rumah di kawasan fäbod yang sudah tidak terpakai lagi menjadi summer house. Dan itu lumayan banyak diincar. Sedangkan untuk fäbod yang masih bertahan biasanya menjadi ajang tempat wisata musim panas.
Note: Semua foto di dalam tulisan ini hanya menggunakan handphone
Setiap musim panas, ada satu jenis tanaman yang menghiasi beberapa wilayah Swedia. Terkhusus di wilayah Dalarna. Beraroma semerbak dan beraneka warna. Cantik.
Di Swedia orang orang menyebutnya Lupiner. Sedangkan asal katanya berasal dari bahasa Latin yaitu Lupinus yang artinya serigala. Dinamai demikian karena keganasan lupiner yang mampu mengekspansi pertumbuhan tanaman di sekitarnya sehingga sulit berkembang.
Awalnya gue berpikir jika tanaman ini hanya tumbuh di wilayah dingin. Ternyata tidak. Malah dari beberapa sumber yang gue baca, di wilayah panas seperti Indonesia pun lupiner bisa dibudidayakan. Dan gue juga baru tau jika lupiner dianggap berbahaya terhadap kelangsungan hidup species lain di sekitarnya. Karena sifat serigalanya itu tadi.
Beberapa waktu lalu, pemerhati lingkungan di Swedia mulai dibikin resah oleh ekspansi tanaman ini. Dihimbau agar warga yang melihat lupiner sebaiknya segera menebas dan membakarnya agar tidak membawa pengaruh buruk terhadap pertumbuhan tanaman liar lain yang dianggap lebih nature.
Walaupun dalam kenyataan yang gue lihat, warga tetap membiarkan bunga ini hidup dan menikmati keindahan warna warninya. Emang cantik sih. Ibarat melengkapi keindahan musim panaslah. Apalagi kalau dilihat dari jauh, warna ungunya mirip bunga lavender.
Mirip Lavender
Lupiner aslinya berasal dari Amerika Utara dan Selatan. Konon di sana bunga ini sangat terkenal. Selain di Swedia, lupiner juga tumbh subur di wilayah New Zealand, Afrika Utara dan kawasan Mediterania. Konon biji Lupiner bisa dimakan dan sering menjadi suguhan dalam bentuk cemilan di wilayah mediterania.
Lupiner sangat menyukai air. Makanya tanaman ini lebih subur di tanah yang memiliki kandungan air yang banyak. Seperti di pinggiran sungai, pantai dan danau. Sehingga kalau gue lihat, tanaman ini tumbuhnya memang tak jauh jauh dari sekitar air. Tumbuh di pinggir jalanpun karena jalanan berada tak jauh dari sungai atau danau. Atau di sekitar selokan yang ada aliran airnya. Jadi tanaman ini tidak tumbuh di sembarang tempat.
Di wilayah eropa lainnya, lupiner ternyata dibudidayakan untuk dijual di toko bunga. Ahhh so lucky me bisa melihat hamparan mereka dan bisa memetik sepuasnya.
Saat gue menulis tulisan ini, lupiner lagi banyak banyaknya bermunculan. Dan gue pun tak ingin ketinggalan untuk mengabadikan momen cantik ini dalam bentuk video.
Ketika gue datang ke Swedia di tahun 2014 silam, gue merasakan musim semi yang masih dingin. Bahkan hingga musim panas, gue masih sering jaketan. Curah hujan masih teratur datang. Ini berlaku hingga tahun 2017.
Tapi di tahun 2018, panasnya itu ga ketulungan. Panas banget. Awalnya sih gue senang senang aja karena berasa ga ribet dengan jaket dan bisa bener bener menikmati musim panas. Tapi ketika cuaca panas ini membawa dampak hingga blueberry liar di hutan tidak berbuah, kemudian rumput di halaman berubah warna gersang kecoklatan, hingga puncaknya sebagian besar hutan di Swedia mengalami kebakaran besar dan hebat. Membuat gue sedikit cemas melewati musim semi dan musim panas tahun ini. Gue berhadapan dengan alam. Jelas ga bisa gue larang. Ramalan cuaca aja bisa salah ya kan.
Musim semi tahun ini lebih aneh. Di bulan April biasanya masih berasa dingin. Tapi tahun ini uda panas banget layaknya musim panas. Sampai sampai desa tempat gue tinggal tidak mengadakan Valborg (tradisi menyalakan api unggun di akhir bulan April). Warga khawatir karena rumput di sekitar terlalu kering. Jadi langsung sadar diri mereka. Bayangin masih bulan April tapi sudah kelihatan gersang kering. Padahal salju yang berbulan bulan menumpuk aja belum lama meleleh. Suhu Panas membuat rumput dan tanah yang tadinya basah oleh salju seketika berubah kering.
Dan anehnya lagi bulan Mei lalu si salju kembali turun. Bulan Mei turun salju. Salju di musim semi. Hahaha. Kadang kadang dalam sehari bisa merasakan suhu 4 musim sekaligus. Adem sepoi mirip spring dan autum, panas layaknya summer dan dingin banget layaknya winter.
Sempat selama seminggu lebih suhu kembali ngedrop hingga minus menjelang malam dan subuh. Dan setelah itu tiba tiba panasssss banget. Dan sekarang curah hujan yang turun. Entah mengapa kalau sekarang hujan turun gue senang. Setidaknya tanaman di sekitar ga mati.
Dan tau ga…pohon birches di sebelah rumah gue saat ini daunnya sudah menguning. Layaknya musim gugur. Bayangin aja masih musim semi loh. Belum melewati musim panas. Sangkin kepanasannya itu daun pas cuaca panas beberapa waktu lalu. Gue berharap semoga cuaca bumi kembali stabil. Gue trauma kalau sampai hutan kebakaran lagi.
Pernah mencium ikan busuk? telur busuk? sampah busuk barangkali? Nah………aroma aroma busuk tersebut bisa menjadi sedikit gambaran akan santapan asal Swedia yang satu ini. Bauk!
Beneran! hidung saya sudah pernah menjadi korban keganasan aroma tak sedap dari olahan permentasi ikan ini. Wek…wek….weeeeeeeeeeeeek!
Surströmming adalah ikan herring (strömming) yang telah melalui proses penggaraman dan permentasi yang sangat lama. Mencapai enam bulan. Bayangkan ada ikan di dalam kaleng hingga berbulan bulan. Nyaris setengah tahun. Kebayanglah shayyyy baunya. Bau kentut belum ada apa apanya. Sebentar juga hilang. Lah ini kaga ilang ilang.
Kenapa harus sampai 6 bulan? Konon supaya mampu menghasilkan citra rasa yang tajam. Ikan tetap dalam kondisi awet dan tahan lama. Surströmming sendiri berasal dari wilayah Swedia bagian utara tepatnya di daerah daerah sekitar high coast. Dan menjadi salah satu makanan tradisional terkenal negara ini.
Metode permentasi ikan herring sudah ada sejak ratusan tahu silam dimana teknologi mesin pendingin seperti kulkas belum ada. Cara terbaik mengawetkan makanan agar bertahan lama adalah dengan melakukan proses penggaraman dan permentasi yang lama.
Tradisi mana sampai sekarang tetap dipertahankan meski sistem produksinya sudah lebih modern. Aroma bau busuk autentik tidak menyurutkan popularitas surströmming hingga ke era modern. Meskipun bau tapi tetap menjadi santapan yang cukup menyelerakan bagi warga Swedia. Santapan bau yang tetap terkenal tidak hanya di Swedia tapi juga di luar Swedia. Sangkin baunya, surströmming selalu masuk dalam jajaran peringkat atas salah satu makanan terbau di dunia. Pihak produsen yang memproduksi surströmming saja sampai menghimbau agar membuka kaleng surströmming di luar rumah.
Konon tak sedikit juga warga Swedia yang tidak begitu interest dengan surströmming. Bau busuk dan rasanya menjadi alasan utama. Tapi lain halnya dengan warga Swedia di sekitar high coast (Swedia bagian utara), justru sangat menyukai surströmming. Surstromming merupakan santapan yang maha aduhai buat mereka. Apalagi dipercaya jika surströmming sangat baik untuk pencernaan. Katanya sih begituuuuu.
Jika mengikuti tradisi awal surströmming, biasanya makanan ini lebih sering disantap ketika memasuki musim gugur. Saya juga kurang jelas alasannya mengapa harus memilih musim gugur. Kemungkinan filosofinya karena suhu di musim gugur belum sedingin winter dan tidak sepanas summer. Dengan suhu yang belum terlalu dingin kemungkinan besar warga masih bisa menikmati suasana bersantap di luar rumah. Aroma bau busuk pun kemungkinan lebih cepat berkurang dan demikian juga dengan lalat terbang tidak terlalu banyak (lagi lagi saya sotoy…haha).
Tapi bukan berarti di saat musim panas tidak ada yang menyantap ikan permentasi ini. Tapi ya itu, lalat terbang langsung berdatangan. Bahkan di saat musim dingin ada saja yang menyantap surströmming di dalam rumah. Dan biasanya mereka memasukkan ikan ke dalam air soda agar baunya sedikit berkurang.
Saya pernah menyaksikan tetangga membuka kaleng surströmming. Dan itu dilakukan sekitar 30 meter dari luar rumah. Tetap aja loh baunya kecium. Jadi bisa dibayangkan luar biasa baunya. Penampakan ikan di dalam kaleng juga menggelikan. Kusam dengan air permentasi yang keruh. Kalau mereka bisa makan ikan berbau busuk seperti ini, bagaimana bisa ikan asin mereka bilang bau? bagaimana bisa? jelaskan! hahaha….
Suami saya sendiri tidak begitu menyukai surströmming. Tapi sesekali dia masih mau menyantap ketika ada acara makan bersama. Menurutnya bau ikan ini memang kurang ajar. Haha..
Beberapa hari yang lalu suami dan tetangga menyantap surströmming di rumah. Tetangga saya sampai bolak balik mengajak saya mencoba surströmming meski cuma sedikit. Sejujurnya ada rasa penasaran di hati. Seperti apa sih rasanya. Tapi bau busuk ikan ini beneran bikin saya hopeless. Ketika saya duduk bersama mereka di meja makan, saya menyantap menu yang lain. Makan sudah tidak konsentrasi. Saya berasa makan di dalam truk sampah. Hahaha.
Penampakan suströmming setelah kalengnya dibuka dan airnya dibuang. Permentasi penggaraman selama berbulan bulan membuat ikan tidak rusak dan tetap kelihatan kinclong. Tapi baunya itulah mak!
Tetangga saya seolah tak percaya bagaimana saya bisa terlalu anti bau busuk ikan ini. Sedangkan dia tau kalau saya doyan makan ikan asin yang menurut dia sangat tidak pantas aromanya. Bahkan kaki ayam saja saya makan kata dia. Hahaha.
Segitu nafsunya beliau supaya saya mau mencicipi surströmming. Ya inilah yang disebut kultur kebiasaan di sebuah negara. Buat saya ikan asin itu ya ga bau. Buat orang di sini bau. Padahal kalau dipikir pikir sama sama melalui proses penggaraman. Makanya tak heran jika rasanya memang asin banget (kata suami).
Surströmming biasa disantap bersama tunnbröd (roti tradisional Swedia yang tipis dan bisa digulung) atau bisa juga dengan kentang rebus dan salad, irisan bawang merah dan sour cream. Sour cream dan bawang merah dianggap bisa mengurangi aroma tak sedap sekaligus menambah kelezatan ketika menyantap surströmming.
Tunnbröd
Harga surströmming bisa dibilang tidak murah alias relatif mahal. Ukuran sekaleng kecil bisa mencapai 200 ribu rupiah dengan jumlah ikan yang hanya 3 hingga 4 ekor. Sizenya kecil kecil pula.
So……………………..jika penasaran dengan bau ikan ini, silahkan datang ke Swedia. Bisa ditemukan di supermarketnya. Selamat mencoba!
Pernah berkunjung ke Swedia? terkhusus ke daerah daerah ”country sidenya”? atau mungkin sekedar melihat dari liputan televisi, internet, kalender, koran atau majalah? atau mungkin juga dari ilustrasi gambar dalam buku cerita anak sekelas Astrid Lindgren?
Jika disimak, salah satu ciri khas dari negara Skandinavia yang satu ini adalah typical bangunan bangunan rumahnya. Terutama bangunan rumah/gedung di wilayah country sidenya. Hampir semua berwarna merah! Warna merah yang berpadu dengan warna putih di setiap sisi jendelanya. Cantik, klasik dan magical. Rumah merah yang mewakili cerita fantasi dalam serial dongeng. Rumah merah yang selalu serasi dengan semburat warna di empat musim yang berbeda. Tak cuma rumah, bahkan bangunan sekolah, panti jompo, gudang, kandang ternak, pagar, hotel, sampai kotak pos pun berwarna merah.
Rumah merah berpadu dengan salju putih di musim dingin. Serasi dan magical ya 🙂
Lantas mengapa bangunan di Swedia dominan berwarna merah? Ternyata ada ceritanya.
Hal ini berkaitan dengan area pertambangan biji tembaga dan besi bernama “Falu Koppargrufa” (Falun Mines) yang terletak di propinsi Dalarna, salah satu propinsi yang ada di wilayah Swedia. Pertambangan mana diperkirakan sudah ada sejak 500 atau 900 tahun silam.
Merah!
Menilik mundur ke sejarah silam, masa dimana sebagian besar warga di sekitar Falun Dalarna berprofesi sebagai penambang tradisional, yang sehari harinya bekerja dengan memilah milah biji batu tembaga. Semisal kandungan tembaga dalam batu sedikit, kemudian dipisahkan ke suatu tempat.
Seiring waktu batu batu ini semakin menggunung. Dan tanpa mereka sadari, akibat proses pengeringan oleh alam yang cukup lama, kandungan besi oksida dan mineral dalam batu mampu membentuk limonit sedimen, yang semakin lama secara alami menghasilkan warna merah.
Sebuah desa dengan rumah kayu berwarna merah
Melihat perubahan itu, para penambang tradisional berkeinginan mengolah limbah batu yang tadinya dianggap tidak berguna menjadi bahan dasar untuk menghasilkan warna merah pada cat.
Sekitar tahun 1573, King Johan III (raja Swedia saat itu) berkeinginan agar cat merah yang dihasilkan oleh para penambang tradisional digunakan untuk mewarnai atap istana. Lalu keinginan raja tersebut diikuti oleh kaum bangsawan. Saat itu kaum elite Swedia berangganpan jika memiliki rumah berwarna merah seakan mewakili sebuah harga prestise sosial.
Duaratus limapuluh tahun kemudian, tepatnya di tahun 1764, berdirilah “Stora Enso”pabrik pertama dan tertua di Swedia bahkan dunia, yang memproduksi cat secara profesional di area pertambangan yang sama di ”Falun Mines”.
Cat berlabel “Falu Rödfärg” (yang bisa diartikan warna merah dari Falun) menjadi cat yang sangat famous di Swedia hingga saat ini. Dari abad ke 18 hingga 19, warga Swedia mulai tergila gila menggunakan cat merah dengan alasan: warna ini seolah memberi kesan jika rumah mereka terbuat dari batu bata, yang waktu itu hanya dimiliki kaum istana raja dan bangsawan.
Pabrik penghasil cat merah, Falu Rödfärg
Tak cuma itu, seiring waktu semakin terlihatlah jika warna merah ”Falu Rödfärg” yang dihasilkan pabrik Stora Enso sangat tahan lama dan memiliki kualitas yang bagus karena mengandung mineral terurai dan minyak alami. Konon kayu yang diberi cat berwarna merah ini mampu membuat kayu menjadi tidak gampang lapuk. Tahan lama!
Konon lagi warna merah yang diproduksi oleh pabrik Stora Enso hanya cocok digunakan untuk ”bahan kayu” seperti rumah dan bangunan kayu di Swedia. Satu lagi yang unik, warna merah ini tidak bisa ditindih dengan warna lain karena warna merahnya akan muncul kembali.
Bangunan bangunan gudang yang juga berwarna merah
Ada harga dan ada rupa. Tidak bisa dipungkiri jika harga cat yang dihasilkan pabrik Stora Enso terbilang mahal. Sehingga tak sedikit warga Swedia perlahan lahan beralih ke merek lain meski kualitas warna merahnya jelas berbeda karena tidak menggunakan bahan dasar alami yang sama seperti yang dihasilkan oleh pabrik Stora Enso. Tapi bukan berarti seratus persen rumah dan bangunan kayu di Swedia itu berwarna merah ya. Warna lain juga ada kok seperti putih, kuning, biru. Cuma warna merah lebih dominan.
Tempat wisata dengan bangunan dan pagar berwarna merahRumah masa kecil seorang Astrid Lindgren yang lagi lagi berwarna merah
Jika berkunjung ke kawasan Falun Mines, kamu bisa melihat banyak tumpukan batu menggunung di beberapa titik lokasi, yang tak lain merupakan kumpulan biji batu yang disortir para penambang dari jaman ratusan tahun silam hingga tahun 1991, ketika mereka menyambung hidup di area bekas pertambangan ini.
Farmhouse yang serba merahDesa itu berwarna merah. Hahaha
Dan amazingnya, batu batu yang sebagian besar sudah berumur ratusan tahun itu sampai sekarang tidak habis habis. Mengapa? karena batu batu ini tidak digunakan sekaligus untuk usaha produksi cat, dikarenakan terkumpulnya batu batu ini berasal dari tahun yang berbeda (bahkan bisa selisih ratusan tahun).
Jadi proses alami pembentukan sedimen merah pada biji batu juga butuh waktu yang sangat lama. Bisa ratusan tahun juga.
Merah yang minimalis diantara tumpukan salju
Pabrik Stora Enso penghasil Falu Rödfärg (cat berwarna merah) ini bisa dilihat di lokasi wisata Falu Gruva (Falun Mines) di kota Falun ibukota propinsi Dalarna. Sampai sekarang masih ada dan tetap berproduksi. Uraian sejarah tentang cat berwarna merah secara gamblang bisa dibaca di sekitar kawasan pabrik. Bagaimana pigmen warna bisa bekerja, mengapa rumah rumah kayu di Swedia dominan berwarna merah, dan slogan tentang cat yang dihasilkan bukan sekedar cat biasa melainkan berfungsi menjaga kestabilan kualitas kayu.
Dikala musim panas, merah dan hijau. Lagi lagi tetap serasi bukan?
Selain itu kalian juga bisa mengeksplore lokasi di sekitar pabrik yang merupakan bekas pertambangan besar yang konon sempat menghasilkan banyak uang di masanya dan meningkatkan perekonomian Swedia di masa silam. Salah satunya adalah dengan menelusuri area pertambangan bawah tanahnya. Seruuuuuu dan memicu adrenalin.
Bangunan merah diantara bunga liar. Cantik!
Saya sangat terkesima mendengar penjelasan guide tentang sejarah pertambangan ini. Merinding karena tak sedikit yang memakan korban jiwa dan mengandung cerita yang sedikit mistis dan horor. Bayangkan saja, berjalan di bawah tanah dengan sinar terbatas dan tangga kayu yang lumayan curam, jalanan batu yang licin, air yang masih menetes dari celah dinding batu dan suhu di bawah yang relatif dingin (kurang lebih 5 derajat celcius). Jika memungkinkan, akan saya tulis secara detail di tulisan yang terpisah.
Di musim gugur. Dan warna merah tetap menawan
Demikianlah cikal bakal mengapa bangunan rumah di Swedia itu dominan berwarna merah. Bangunan rumah mana juga dijadikan sebagai souvenir di beberapa wilayah country side Swedia sebagai pertanda ciri khas wilayah mereka.
Berikut di bawah adalah beberapa foto bangunan berwarna merah yang saya foto. Mulai dari restoran, cafe, hotel, museum, souvenir, toko souvenir, komplek perumahan, gudang.
Sebuah cafe dari bangunan gudang tua. Merah!
Souvenir rumah. Mewakili bangunan kayu merah di Swedia.
Perumahan tua yang dominan berwarna merahRestorannya kece
Bulan Agustus adalah saatnya menyantap Kräftor atau udang karang di Swedia. Tradisi menyantap kräftor yang mirip lobster mini ini dikenal dengan istilah Kräftskiva atau pesta menyantap udang karang (crayfish).
Lalu mengapa harus di bulan Agustus? karena kräftor di Swedia baru boleh dipanen di bulan Agustus. Konon sebelum bulan Agustus, kulit kräftor belum sempurna mengeras. Jadi waktu terbaik memanen atau memancing udang ini ya di bulan Agustus. Selain itu masih ada alasan lainnya. Alasan yang paling mendasar mengapa tradisi kräftskiva dilakukan di bulan Agustus.
Jadi begini, kräftor yang berasal dari seluruh danau di Swedia dianggap eksklusif oleh warganya. Kenapa eksklusif? karena harganya sangat mahal. Perkilonya bisa mencapai lebih dari satu juta rupiah. Lantas mengapa bisa mahal? Nah, inilah awal mulanya.
Jadi ternyata, kräftor yang hidup di danau Swedia tidak boleh dipancing sembarangan. Baik dari segi waktu maupun orang yang akan memancing. Hal ini berkaitan dengan kekhawatiran akan musnahnya populasi udang karang di Swedia. Kekhawatiran mana sudah ada sejak tahun 1800an. Aturan yang diawali dengan larangan memancing kräftor di Hjälmaren, sebuah danau di Swedia. Kemudian selang beberapa tahun kemudian, larangan ini berlaku pula untuk semua danau yang ada di wilayah Swedia.
Selain hanya boleh dipancing di bulan Agustus, kemudian dikeluarkanlah kebijakan baru tepatnya di tahun 2014 silam, yang menyebut hanya pemancing profesional dengan ijin khususlah yang boleh memancing kräftor di Swedia. Sedangkan kalangan publik hanya diperbolehkan di saat weekend tertentu. Itupun jamnya sudah ditentukan dari pukul berapa ke pukul berapa.
Itulah sebabnya kräftor di Swedia dianggap eksklusif oleh warganya. Karena untuk mendapatkan udang ini tidaklah mudah. Sekalinya dapat, ya harganya mahal.
Untuk memenuhi kebutuhan akan kräftor, akhirnya pemerintah Swedia mengimport kräftor dari negara lain seperti Cina, Turki dan Spanyol. Harganya jauh lebih murah. Sekitar 200 atau 250 sek perkilonya atau setara 400 ribu rupiahlah kurang lebihnya. Sementara kräftor asal Swedia, perkilonya bisa mencapai 700 sek atau setara 1, 1 juta rupiah. Beda banget kan selisihnya.
Begitupun, kebanyakan warga Swedia lebih tertarik menyantap kräftor di bulan Agustus. Karena sudah melekat dengan tradisi Kräftskiva tadi. Mereka juga menganggap bahwa kräftor yang berasal dari danau di Swedia adalah yang the best. Meskipun tak sedikit dari mereka yang harus rela menyantap kräftor import. Uang bisa menjadi kendala bukan? Yang penting tradisi makan kräftor di bulan Agustus tetap berjalan broooo! Hahahaha.
Jadi jangan heran, jika di bulan Agustus warga Swedia akan mengadakan pesta makan bersama dengan menu utama kräftor di atas meja. Gue dan suami beberapa kali diundang makan oleh teman dan kerabat dengan hidangan kräftor ini. Awalnya gue berasa ribet aja. Banyakan nyampah daripada dagingnya. Tapi dibalik daging yang sedikit itulah sensasinya. Ibarat makan kepitinglah. Riweh tapi nikmat. Walaupun buat gue pribadi rasanya lumayan asin.
Kräftor biasanya disantap dalam kondisi dingin. Disantap dengan roti, cheese, beer atau minuman alkohol lainnya. Sebelumnya kräftor harus melalui proses boil di suhu yang tinggi, dicampur garam dan rempahdill segar berikut mahkota bunganya.
Setiap tahun Swedia selalu merayakan tradisi besar yang dikenal dengan Midsommar Eve. Merayakan hari “yang paling terang atau siang yang paling panjang” yang hanya terjadi dalam satu hari sepanjang satu tahun berlangsung. Meskipun secara kasat mata, perbedaan hari yang paling terang ini tidak terlalu berasa di rentang waktu menjelang atau sesudah perayaan midsommar eve.
Foto perayaan midsommar tahun 2017 lalu
Seperti biasa setiap tahun, gue dan suami mempersiapkan menu midsommar di rumah. Tahun ini gue bikin coktail andalan yang resepnya gue dapat dari mendiang kakak ipar. Sudah puluhan tahun memakai resep ini. Aroma dan rasanya selalu mengingatkan gue akan perayaan natal bersama keluarga. Bahannya terdiri dari buah nenas, pepaya setengah matang, markisa buah (passion fruit), gula pasir, perasan lemon atau jeruk nipis, dan sirup markisa (bisa diganti softdrink rasa orange). Dibiarkan overnight di kulkas dan diminum pakai es batu. Boleh dicoba. Segar dan aromanya khas banget. Perpaduan semua bahan sangat matching. Gue ga begitu suka buah pepaya, tapi khsusus di coktail ini, pepaya menjadi markotop rasa dan aromanya. Sedangkan untuk menu makanan, gue serahkan ke suami. Gue lagi malas ngerjai yang berat berat di dapur.
Jumat kemaren, kami berencana keliling berkendara melihat perayaan midsommar di beberapa tempat di sekitaran Dalarna. Tapi sayang, cuaca belakangan ini selalu dingin dan berangin. Serasa musim gugur. Dan ini berdampak terhadap perayan midsommar tahun ini. Jalanan tidak terlalu ramai. Biasanya terlihat meja meja panjang di halaman rumah warga yang akan mengadakan pesta keluarga. Gue cuma melihat beberapa orang yang memetik bunga liar. Sepertinya mereka akan membuat hiasan bunga. Oh iya, gue juga bikin loh. Gue paling suka dengan bunga liar. Lumayan sering gue jadikan hiasan di meja teras. Seperti gambar di bawah ini. Gimana, cantik ga?
Sebenarnya tujuan utama kami adalah ke Tällberg. Selain landscape alamnya yang kece, kami berencana makan siang di salah satu hotel tua yang ada di resort ini. Kebetulan dari beberapa kunjungan ke Tällberg, menu di restoran hotel Tällbergsgården belum pernah kami coba. Untungnya ada satu meja yang bersisa. Biasanya harus booking dulu.
Beberapa bangunan cafe dan cottage di Tällberg
Begitu masuk ke restoran hotel, gue sudah menebak interiornya bakal kece. Karena rata rata hotel di Tällberg emang selalu bikin mupeng suasananya. Ga pake lamalah gue langsung jatuh hati. Sukaaaak!
View dari jendela restoran
View dari jendela restoran juga kece. Langsung menghadap ke danau Siljan (danau terbesar di Dalarna). Dan makanannya itu loh, enak banget mak! Sejenis ikan sill (herring) yang tadinya kurang gue suka, ehhhhh…………..malah bisa nambah! Mereka bisa mengolahnya menjadi sangat sesuatu. Pakai rempah apa gue kurang tau. Dan sepertinya dikasih madu juga. Jadi ada manis manisnya gitu.
Trus ya, ruangan untuk ngopi dibikin terpisah dari meja utama. Jadi kita ga ngopi atau ngedesserts di meja yang sama. Udah gitu banyak kamar kamarnya. Asik banget suasananya. Shabby vintage. Rasanya pengen gue fotoin semua sangkin suka. Wallpaper setiap kamar kamarnya pun beda beda. Demikian juga kursi sofanya. Beneran deh bikin betah.
Ruangan tempat ngopi. Cakep kan!
Di luar hotel pun begitu. Bangku kayu berwarna putih berjejer rapi. Teras hotelnya tidak begitu lebar, tapi jika cuaca bagus, duduk sambil menatap ke danau dijamin mantap jiwa. Hahaha.
Teras hotel dengan view danau Siljan
Sehabis makan, kami mengitari Tällberg sambil menunggu acara midsommar dimulai. Tapi berhubung dingin banget dan angin semakin kencang, belum lagi sesekali turun hujan, mood pun menjadi memble. Mana acaranya lama banget dimulai. Akhirnya kami memutuskan pulang. Sampai rumah kami minum cocktail buatan gue. Segarrrr! Sedangkan menu midsommar yang sudah dibeli suami, kami putuskan untuk menyantapnya hari ini. Karena kami sudah kekenyangan kemaren.
Menu simple di rumah
Jika kalian belum sempat membaca tulisan lengkap gue tentang Tällberg, bisa baca di sini.
Setiap tahun di akhir bulan April tepatnya setiap tanggal 30 April, sebagian besar wilayah di Swedia menjalankan tradisi Valborg, sebuah tradisi untuk menyambut musim semi. Tradisi yang mewakili luapan kegembiraan warga Swedia setelah berbulan bulan mengalami musim dingin yang lumayan berat. Kurang lebih 6 bulan!
Sehingga tak ayal, rasa senang bangsa ini diluapkan dalam bentuk perayaan besar. Dibanding pergantian musim panas dan musim gugur, pergantian musim dingin ke musim semi memang jelas berbeda. Lebih excited.
Sebuah perubahan musim yang sangat berasa perbedaannya. Dari hamparan salju yang memutih tebal, hari hari dengan malam yang sangat panjang, berubah menjadi lebih berwarna oleh rumput dan bunga bunga liar, daun daun yang mulai bermunculan, serta perubahan siang yang semakin lama tentulah sangat masuk akal untuk disambut dengan sukaria.
Beberapa negara lain konon juga menjalankan tradisi menyalakan api unggun, tapi makna dan tujuannya berbeda beda (wikipedia). Kalau di Swedia penyalaan api unggun memang diadakan untuk merayakan datangnya musim semi.
Tradisi Valborg sangat identik dengan bonfire atau api unggun berukuran besar. Seluruh warga bersuka ria, bernyanyi (menyanyikan lagu Sköna Maj), meminum bir bahkan berpesta semalam suntuk. Apalagi setelah malam perayaan Valborg yaitu tanggal 1 Mei, adalah hari libur nasional yang dikenal dengan Mayday.
Kalau di kota kota besar, pelaksanaan tradisi Valborg lumayan banyak disaksikan oleh warga. Sedangkan di desa kecil seperti tempat tinggal gue tidak begitu ramai. Karena jumlah warganya juga sedikit. Paling bedanya, kalau di tempat gue ada acara makan bersama. Menunya tinggal di bawa masing masing oleh warga dan nantinya saling sharing.
Ini aslinya gede dan tinggi banget
Dan puncaknya adalah menyalakan api unggun yang berasal dari tumpukan tumpukan ranting. Tumpukan ranting mana mulai dikumpulkan oleh warga secara bergantian sejak musim gugur tahun lalu. Tumpukan ranting sengaja diletakin tak jauh dari tepi danau. Tujuannya untuk menghindari kemungkinan besar bahaya kebakaran. Sebelum api dinyalakan pun, rumput di sekitar harus disiram agar tetap basah. Selang air tetap disediakan untuk jaga jaga. Jadi tidak asal main bakar.
Berhubung di Swedia sudah mulai memasuki “siang hari yang semakin panjang” maka tak ayal matahari pun terbenam semakin lama. Sekitar pukul 9 malam. Dan siang yang panjang ini akan semakin panjang hingga menjelang perayaan midsummer di bulan Juni yang akan datang.
Sebagian besar wilayah di Swedia akan menyalakan api setelah matahari terbenam. Dan idealnya memang seperti itu. Tujuannya agar cahaya api terlihat lebih bagus. Jadi kebayang kan jika dilihat dari udara, bisa jadi wajah Swedia seperti lautan cahaya api. Pasti cantik.
Api dilambangkan sebagai cahaya terang yang hangat. Mewakili tipikal musim semi yang semakin terang dan tidak sedingin musim dingin lagi.
Menyaksikan tradisi negara lain itu selalu menarik. Menjadi pengalaman baru tanpa harus melupakan tradisi dari bangsa sendiri. Welcome Spring and Happy Valborg!
Pernah mendengar “Systembolaget”? mungkin buat teman teman di tanah air atau luar Swedia terdengar agak aneh. Apa itu systembolaget? Jika kamu berkunjung ke Swedia dan melihat store bertuliskan “Systembolaget”, tak lain merupakan store berisi berbagai jenis minuman keras. Minuman keras berkadar alkohol mulai dari 3,5 persen hingga 40 persen (meskipun minuman non alkohol bisa juga ditemukan di store ini).
Terus istimewanya apa? Menjadi istimewa (setidaknya buat gue) karena systembolaget ini adalah “satu satunya” toko yang boleh menjual minuman keras berkadar alkohol 3,5 persen ke atas. Dan itu berlaku untuk seluruh wilayah Swedia.
Yup, systembolaget merupakan perpanjangan sistem monopoli perdagangan minuman keras di Swedia yang dikendalikan langsung oleh pemerintahnya. Monopoli di sini sama artinya dengan : tidak ada toko/store atau pihak manapun yang bisa menjual minuman keras di level tersebut selain systembolaget. Supermarket besar sekalipun tak terkecuali. Apalagi individu ke individu lainnya. Ketauan alamat kena sanksi.
Supermarket hanya diperbolehkan menjual minuman berkadar alkohol di bawah 3,5 persen. Sebuah kadar alkohol yang relatif rendah. Gue saja yang tidak begitu familiar dengan minuman keras, jika meminum minuman berkadar alkohol di bawah 3,5 persen sama sekali tidak berasa. Tidak pusing apalagi mabuk. Seperti minum sofdrink biasa saja.
Ketika pemerintah Indonesia memberlakukan larangan penjualan alkohol di sana sini, gue masih bisa memaklumi terkait kultur budaya dan alasan “segala macamnya”. Lah ini di Swedia. Kok bisa? Kalau bicara “aturan di bawah umur”, setau gue hampir di sebagian besar wilayah negara eropa menerapkan batasan umur untuk seseorang mulai bisa mengkomsusmi minuman beralkohol tinggi. Meskipun penerapan tentang batasan umur di setiap negara bisa beragam. Tapi ini penjualannya sampai dimonopoli loh. Dan tidak semua negara yang melegalkan minuman beralkohol menerapkan sistem ini.
Dan amazingnya lagi, toko systembolaget tidak ada di setiap tempat. Mostly hanya ada satu untuk satu wilayah kotamdaya (kommun). Kecuali di kota kota besar kemungkinan bisa lebih, tergantung luas wilayah dan jumlah penduduknya. Pembelian minuman di systembolaget pun dibatasi. Hanya boleh dibeli mulai pukul 10 pagi hingga pukul 7 malam. Pemberlakukan aturan inilah kemungkinan yang membuat mengapa harga minuman beralkohol di berbagai bar dan restoran di wilayah Swedia sangat mahal jika dibanding membeli langsung di systembolaget.
Sekitar 50 tahun yang lalu, penerapan systembolaget malah lebih kejam. Hanya ada satu di setiap ibukota propinsi. Contohnya di propinsi tempat gue tinggal yaitu Dalarna hanya ada di kota Falun. Kebayang ga sih jauhnya. Dari tempat gue saja jaraknya bisa mencapai 130 kilometer. Kemudian seiring waktu, aturan systembolaget dibikin lebih longgar dengan menunjuk satu agen perwakilan resmi systembolaget di wilayah kotamadya masing masing, sehingga warga bisa mengorder melalui perwakilan yang ditunjuk ini. Bayangin ribetnya. Hahaha.
Lantas mengapa sampai sedemikian ekstremnya penerapan penjualan minuman alkohol berkadar tinggi di Swedia? sampai sampai harus dimonopoli pemerintahnya?
Hal ini berhubungan dengan sejarah Swedia di masa silam. Masa dimana sebagian besar kaum laki laki di negara ini sangat menggilai minuman keras dan suka bermabuk mabukan. Jika dirunut lagi, kehidupan serba sulit yang menyelimuti bangsa Swedia di masa silam sedikit banyak mempengaruhi mental warganya. Kapan? ratusan tahun silam kurang lebih sekitar tahun 1700-1800an, ketika Swedia memegang predikat sebagai salah satu negara termiskin di eropa sebelum menjadi negara maju seperti sekarang ini. Minum hingga mabuk sepertinya menjadi salah satu alasan untuk bisa melupakan sejenak kepahitan hidup. Apalagi waktu itu minuman keras bisa dibeli dengan mudah antar sesama warga. Bahkan minuman keras berkadar alkohol tinggi dan tidak terkontrol bisa dibikin sendiri oleh warganya. Akibatnya tak sedikit warga yang suka lost control ketika menggambil sebuah keputusan. Salah satunya ketika terperangkap dalam bujuk rayu pengusaha kaya.
Makanya ada pepatah orang Swedia yang menyebut ” I Den Ena Fickan Hade Dom En Flaska, Och I Den Andra Hade Dom Bibeln” yang artinya di saku yang satu ada sebuah botol (diartikan minuman) dan di saku lain ada alkitab. Pepatah ini muncul karena tak sedikit warga Swedia di jaman dulu dengan gampangnya masuk perangkap pengusaha kaya yang hendak membeli lahan milik warga. Para pengusaha digambarkan sebagai pelaku sandiwara yang jitu dan sangat jeli melihat karakter korbannya.
Sekira mereka tau sasaran korban adalah pribadi yang hobby minum hingga mabuk, maka mereka menawarkan sebotol minuman. Diajak minum terlebih dahulu dan ditawari untuk menjual murah lahannya. Ujung ujungnya si warga pun mabuk dan akhirnya mau menandatangani surat jual beli. Sedangkan kalau sekira korban yang dilirik sangat agamais, para pengusaha ini pura pura berlagak seperti pendeta. Membacakan ayat alkitab demi mencuri hati si warga. Lahan pun dijual dengan murah. Konyol banget kan. Hahaha. Kurang lebih cerita singkatnya seperti itulah.
Berkiblat dari parahnya efek yang ditimbulkan minuman keras ini, banyak pihak yang mulai gerah. Terutama kaum wanita karena merasa berada di pihak yang dirugikan. Kehilangan aset tanpa mereka tau. Inilah titik awal mengapa akhirnya setiap jual beli tanah, lahan hutan dan rumah di Swedia harus melibatkan pasangan. Agar terhindar dari kejadian menjual aset di bawah pengaruh alkohol. Kemudian kampanye akan bahaya minuman keras mulai digaungkan oleh beberapa kalangan dengan membentuk organisasi anti minuman beralkohol.
Hingga akhirnya kebijakan final pun dibuat. Semua produksi minuman alkohol baik dalam negeri maupun luar, dikendalikan langsung oleh pemerintah Swedia di bawah lembaga pemerintah bernama “Vin och Spritcentralen”(Sentral wine dan alkohol). Dari sinilah hotel dan restoran dan bar di Swedia bisa membeli stok minuman keras.
Dan pada tahun 1955, didirikanlah systembolaget dengan pangsa pasar warga biasa. Sebuah toko minuman keras berkadar alkohol tinggi yang dikendalikan langsung oleh pemerintah Swedia.
Pembatasan umur pun dilakukan. Di Swedia, meski batas umur untuk bisa meminum alkohol dimulai dari umur 18 tahun, tapi untuk bisa membeli minuman alkohol di systembolaget harus berumur minimum 20 tahun. Bayangkan, untuk mulai bisa membeli dan mengkonsumsi saja dibedakan loh umurnya. Jadi yang berumur 18 tahun hanya boleh membeli minuman di bar atau restoran dalam hitungan pergelas tanpa boleh dibawa pulang. Sehingga tak ayal, para kasir di systembolaget ditugaskan juga untuk sangat jeli memasang insting apakah para buyer sudah cukup umur apa tidak. Kalau sekiranya ragu, mereka wajib meminta identity card (KTP).
Bahkan pemerintah Swedia tak jarang mempekerjakan secara random para remaja di bawah usia 20 tahun dan masuk ke dalam systembolaget untuk kemudian berpura pura sebagai konsumen. Hal ini dilakukan demi memastikan apakah para kasir menjalankan tugasnya dengan baik. Jika ternyata mereka ceroboh memainkan instingnya dan kemudian tidak meminta KTP, maka alamat kena sanksi tegas (kemungkinan bisa dipecat). Sadis meeeen.
Pemberlakuan aturan tegas ini suka atau tidak suka, memang harus dipatuhi warga Swedia terutama bagi para pelaku bisnis restoran dan bar. Gue pernah melihat dengan mata kepala sendiri, ketika berada di sebuah cafe bar di Stockholm. Ketika dua orang pria dimintai KTP oleh pelayan bar. Kasat mata sih sepertinya sudah berumur 20 tahun. Tapi entah bagaimana si pelayan bar bisa dengan baik memainkan instingnya. Dan taraaa banget deh. Ternyata beneran masih di bawah umur 18 tahun. Dan mereka pun tidak diperbolehkan memesan minuman alkohol yang mereka mau.
Waktu itu gue berpikir awam banget. Gila banget sampai dicek sedemikian. Seumpama pun bener mereka masih di bawah umur, toh kalau dibolehin ga ada yang tau juga kan? (maksudnya gue berpikir demikian dari segi bisnisnya loh. Kok rasa peduli si pelayan bar lebih tinggi daripada mendapat keuntungan semata). Akhirnya gue bisa memahami. Semisal mereka sampai mabuk atau katakanlah lebih parah lagi ternyata mereka adalah suruhan pemerintah? ijin menjual minuman keras oleh pemilik bar kemungkinan besar akan dicabut kan.
Bahkan sampai sekarang pun, setiap bar yang menjual minuman keras di Swedia, jika mereka memperbolehkan para pengunjung minum di luar bar, misalnya di halaman bar, maka bar wajib memiliki pagar pembatas. Hal ini dilakukan untuk menghindari kalau pengunjung minum di sembarang tempat.
Suami gue masih ingat banget, sekitar 40 tahun silam, aturan tentang penjualan minuman alkohol di bar dan restoran Swedia malah jauh lebih ketat. Restoran bar hanya boleh menjual minuman alkohol jika pengunjung juga memesan makanan. Kalau tamu restoran ujuk ujuk datang hanya untuk memesan minuman, alamat tidak dibolehin. Dan untuk mengontrol dan mengendalikan kebijakan ini, pemerintah Swedia lagi lagi dengan sengaja mempekerjakan satu orang pegawai suruhan merekauntuk khusus melayani bagian minuman.
Jadi bartendernya bukan pegawai restoran yang bersangkutan loh, melainkan pegawai yang dipekerjakan langsung oleh pemerintahnya. Kemungkinan pemilik restoran untuk berlaku tidak jujur dengan hanya menjual minuman kepada para tamunya pun sangat kecil, karena bartender hanya boleh mengeluarkan minuman jika pemilik restoran memperlihatkan kertas bertuliskan daftar makanan apa saja yang dipesan oleh tamu restoran.
Bahkan konon sempat loh setiap orang hanya boleh membeli minuman alkohol dengan menunjukkan kupon. Dan kupon ini juga dibatasi jumlahnya untuk kurun waktu tertentu.
Belum lagi ketika liburan ke luar Swedia, warga Swedia hanya diperbolehkan membawa pulang satu botol minuman keras. Sampai akhirnya kebijakan ini mulai berubah sejak Swedia bergabung dengan Uni Eropa. Kebahagian warga Swedia pun dimulai karena mereka bisa membeli minuman alkohol dari tempat berlibur dalam jumlah tak terbatas. Gila bangetlah pokoknya.
Tapi menurut gue pribadi, alasan pemberlakuan monopoli perdagangan minuman keras oleh pemerintah Swedia, lumayan masuk akal juga. Selain cerita sejarah di masa silam, hingga saat ini pun keinginan warganya untuk mengkonsumsi minuman keras lumayan besar. Jadi dengan adanya systembolaget ini setidaknya membatasi ruang bebas mereka untuk bisa membeli kapan dan dimana saja minuman berkadar alkohol tinggi. Minum minuman beralkohol tidak dilarang, bahkan menjurus mabuk pun sepertinya masih dianggap wajar selama tidak membuat onar dan mengendara. Dan systembolaget dianggap pemerintah Swedia sebagai media pengaman penggunaan minuman alkohol yang berlebihan.
Buat gue semua ini sangatlah menarik. Karena aturan tegas ini justru diberlakukan di negara barat yang notabene identik banget dengan minuman alkohol. Dan aturannya itu ga main main. Bukan sekedar aturan yang bersifat teori yang dicatatkan dalam sebuah lembaran negara. Tapi benar benar direalisasikan. Karena kalau bicara teori undang undang, setiap negara pasti punya. Cuma pelaksaanannya yang suka berbeda.
Setau gue (koreksi bila salah) tak banyak negara yang memberlakukan sistem monopoli perdagangan minuman keras berkadar alkohol tinggi. Hanya ada beberapa negara seperti Finland, Norway, Iceland, Canada. Kalau ternyata masih ada yang lain, gue kurang tau pasti.
Meskipun terbilang masih bau kencur, ada beberapa hal yang lumayan mencuri perhatian gue selama tinggal di Swedia (kurang lebih empat tahunlah). Terlebih di awal awal ketibaan gue. tidaklah mudah untuk bisa cepat beradaptasi. Butuh waktu. Negara dan kultur baru yang semuanya terlihat asing. Tamparan culture shock sudah pasti ada. Terutama masalah disiplin, karakter dan kebiasaan.
Tulisan gue kali ini hanyalah sebuah pendapat. Pendapat seorang ajheris tentang kebiasaan dan karakter masyarakat Swedia yang pernah gue lihat. Tulisan ini bukan sebuah kesimpulan yang teruji secara ilmiah dan bersifat universal. Karena belum tentu juga semuanya benar. Tulisan yang ditulis berdasarkan apa yang gue lihat dari negara yang gue sebut sebagai tanah tinggal baru. Gue tulis secara random. Apa saja itu? Berikut di bawah.
1. Cuek Bukan Berarti Tidak Respek
Bule itu individualis. Bule itu cuek. Bule itu atheis. Bule itu…dan masih banyak lagi. Gue dulu termasuk salah satu yang memiliki anggapan seperti ini dan melihat dari sisi jeleknya saja. Emang benar sih bule itu cuek, individualis, atheis (meski tidak semua). Tapi jangan melulu dilihat dari pemikiran negatif. Semua itu berhubungan dengan privacy. Mereka tidak mau mencampuri dan mengusik kehidupan pribadi orang lain dan terhadap sesuatu yang bukan urusan mereka.
Orang lain atheis, living together without marriage, kissing in public area, tetangga tiba tiba beli mobil baru dan suka belanja sana sini, its not your business. Kira kira seperti itu. Mereka sangat respek akan pilihan hidup orang lain. Paling takut menghakimi. Ini bukan urusan benar atau salah. Buat kita kebiasaan mereka mungkin cenderung salah sebaliknya kebiasaan yang kita anggap benar, mungkin buat mereka terasa aneh dan tidak logika.
Bahkan untuk urusan belangsungkawa saja, mereka sangat hati hati. Misalnya ada kerabat atau teman yang sedang kehilangan anak, saudara atau orang tua, tidak lantas ujuk ujuk langsung ditelepon atau dikunjungi silih berganti kemudian memberi ucapan duka. Justru mereka takut mengganggu privacy si orang yang lagi berduka. Dengan pemikiran si orang tersebut mungkin lagi pengen sendiri. Tidak mau diganggu. Bangsa membentuk karakter bangsanya. Orang di sini jika mengalami musibah atau kemalangan, lebih banyak menutup diri. Dan jujur di awal awal ketibaan gue semua ini sangat mengherankan. Asing.
Pake foto winter aja ya. Hahaha
Urusan pribadi sangat sensitif bagi orang Swedia. Bahkan selevel best friend pun bisa tidak terlalu terbuka untuk saling bercerita. Entah itu urusan pacar baru, perceraian, masalah keluarga dan lainnya. Tak ada yang berani untuk menanyakan secara langsung apalagi kepo. Kecuali kalau yang bersangkutan mau bercerita terlebih dulu.
Memberi respek terhadap privacy orang lain sangat penting di sini. Sewaktu gue hamil, teman baik suami memberi ucapan selamat ke gue. Itupun karena suami memberitahu dia. Tapi begitu dia tau kalau gue mengalami keguguran, you know what? dia ga bilang apa apa. Sama sekali diam ketika kami bertemu. Ga ada kalimat kalimat klasik seperti “yang kuat ya” atau “saya turut bersedih” apalagi kalimat yang tanpa hati dan menjurus kepo “kok bisa” “kamu makan apa? jangan jangan kamu kebanyakan naik turun tangga?” nah loh bikin mumet kan.
Menurut gue orang di sini sangat berhati hati menyikapi peristiwa sedih atau kemalangan. Bisa berdampak sensitif jika salah berucap. Tar kalau dibilang “yang kuat ya” trus dijawab “loh yang bilang gue ga kuat siapa? tau darimana gue ga kuat? gue kuat kok” dijawab gitu kan keselek. Kurang lebih analoginya seperti itu.
2. Suka Menyapa “Hej” (Hai)
Meski katanya orang Skandinavia itu tak banyak bicara, tapi kenyataan yang gue lihat tak sedikit orang Swedia yang suka saling tegor ketika berpapasan dengan orang lain meskipun mereka tidak saling kenal. Jadi ketika kamu berada di Swedia dan ada orang lain yang kamu tidak kenal tiba tiba menyapa “hej”, maka tidak perlu heran dan kaget. Itu adalah bagian dari kebiasaan warga di negara ini.
Sebagai orang yang beranggapan kalau rata rata bule adalah sosok manusia cuek, jelas ketika gue disapa “hej” oleh orang yang tidak gue kenal membuat gue sedikit heran. Jadi pertama gue tiba di Swedia tahun 2014, tepatnya sewaktu gue dan suami hendak membeli roti ke toko bakery. Dari arah yang berlawanan terlihat seorang wanita muda berjalan dan tersenyum kecil sambil menyapa “hej” ke gue. Lah gue bingung dong. Gue kan ga kenal. Dan apa balasan gue terhadap sapaannya itu? Gue ga jawab apa apa. Gue jalan aja gitu sambil terheran. Hahaha!
Belum habis rasa heran gue, pas nyampe di depan pintu toko, gue berpapasan lagi dengan seorang cowok. Sebuah senyuman tampan pun kembali menyapa gue. “hej” sapa dia sambil berjalan dan berlalu. Gitu aja. Dan lagi lagi gue masih ga kasih respon apa apa. Beneran gue belum ngerti waktu itu. Pun begitu juga pas di supermarket, lagi dorong trolli dan berpapasan dengan konsumen lain, mereka menyapa hej ke gue.
Bahkan pernah gue disapa “hej” di trotoar jalan oleh seorang wanita, padahal sebelumnya gue melihat dia lagi asik mengobrol dengan teman prianya. Begitu gue lewat, sempat aja si wanita tadi meluangkan waktu say hai ke gue. Kalau dipikir pikir harus banget ga sih luangkan sedetik hanya untuk bilang hai ke orang yang ga dikenal. Hahaha
Karena penasaran akhirnya gue tanya ke suami. Kenapa mereka menyapa gue. Gue kan ga kenal mereka. Dan ternyata saling sapa dengan orang yang tidak dikenal di Swedia adalah hal yang wajar. Sampai akhirnya suami bilang ke gue kalau gue di sapa hej, alangkah baiknya jika gue balas hej juga. Ya namanya juga pendatang baru dan belum terbiasa. Pokoknya waktu itu gue lumayan takjublah. Nyaris ga percaya kalau bule ternyata bisa sangat ramah.
Berhubung gue tinggal di wilayah propinsi yang hanya memiliki kota kota kecil, sapaan hej ini memang lebih berasa dibanding jika gue berada kota besar seperti Stockholm. Bisa jadi karena Stockholm merupakan capital city dengan penghuni yang lebih majemuk dan kompetitif, sehingga orang orang sebagian besar bawannya sangat serius. No time for Hej. Hahaha. Begitupun ada aja kok yang lumayan ramah menyapa hej!
Jujur aja sih selama tinggal di Indonesia, rasa rasanya belum pernah gue menerima sapaan hai dari orang yang sama sekali tidak gue kenal. Maksudnya ketika berpapasan di jalan atau di tempat umum ya. Kalau pun ada ya karena tujuan dan kepentingan tertentu. Misalnya nanya alamat. Bukan ujuk ujuk berpapasan trus ramah banget bilang haiiiiiiiiii!
Yang ada malah dikira aneh atau curiga. Jangan jangan itu orang seorang penghipnotis, kriminal, copet, jangan jangan orang tidak waras, jangan jangan………..dan masih banyak jangan jangan yang lain. Akibat kebanyakan dengar issue kriminal dimana mana.
3. Suka Ngobrol
Seperti yang gue tulis di atas, banyak yang bilang kalau orang orang Skandinavia itu terkesan dingin dan tidak banyak bicara. Tapi jika mereka sudah mengenal baik satu sama lain, malah sebaliknya. Suka banget ngobrol ngolor ngidul alias kombur kombur kalau kata orang Medan. Setidaknya inilah menurut penglihatan gue.
Tetangga gue, teman kantor dan kerabat suami, tahan berlama lama ngobrol di telepon. Bahkan ada tetangga gue yang hampir setiap hari ngobrol di telepon dengan suami. Yang dibicarakan padahal seputaran itu ke itu lagi. Kalau bukan masalah kayu, berita, sampai undian berhadiah. Padahal tetangga loh. Main ke rumah pun lumayan sering. Tapi masih aja suka teleponan. Kadang gue suka ngomel ke suami dan bilang mirip perempuan doyan ngobrol. Hahaha.
Parahnya lagi, sering banget pas tamu pamit pulang, bukannya langsung cuss buka pintu dan keluar, malah lanjut lagi ngobrol sambil berdiri. Obrolannya masih bersambung. Dan itu lama! Padahal posisi sudah di depan pintu. Beneran adegan yang paling ga gue suka deh.
4. Sangat On Time
Yup…! jangan berspekulasi urusan waktu dengan orang Swedia. Mereka bisa moody. Disiplin dan ontime sekali. Janji pukul 10 pagi datanglah pukul 10 pagi. Bahkan datang lebih awal pun tidak.
Gue pernah menonton salah satu channel youtuber asal England yang bercerita tentang bagaimana orang orang Swedia sangat tepat waktu di sebuah acara pesta. Dia lumayan heran karena begitu acara dimulai para tamu sudah hadir semua. Tidak ada penampakan dimana masih ada satu dua tiga tamu yang datang belakangan. Gue sependapat sih. Karena gue melihat sendiri di acara pesta pernikahan gue. Pun di acara pesta lainnya.
Kalau di Indonesia biasanya yang namanya telat dalam sebuah acara bukan hal aneh. Begitupun yang datang lebih cepat juga ada. Berbeda kalau di Swedia, 10 menit sebelum acara dimulai biasanya para tamu belum pada datang. Tapi amazingnya, 10 menit kemudian tanpa sadar tiba tiba uda hadir aja semua.
Mereka benar benar datang sesuai waktu yang disepakati. Datang lebih awal pun bukan kebiasaan mereka karena takut malah membuat yang punya hajatan belum siap. Kalaupun datang lebih awal paling 5 menit sebelum acara atau kalaupun ada satu dua yang telat paling telat sekitar 5 menit. Meskipun begitu, ada aja yang molornya lumayan parah. Suami punya teman yang suka molor kalau ada acara. Dan itu beneran ga disuka ama yang lain.
5. Mengundang Tamu Masaknya Ga Ribet
Semisal orang Swedia mengundang makan tamu, percayalah menunya tidak seheboh menu orang Indonesia. Main coursenya cukup semacam. Simple dari segi ragam.
Kalau steak ya steak aja. Salmon ya salmon aja. Ditambah kentang dan salad. Jaranglah sampai dua macam gitu. Tapi yang namanya kopi dan makanan penutup biasanya selalu ada. Entah itu cake maupun ice cream. Porsinya pun biasanya sudah mereka perhitungkan sesuai jumlah tamu yang diundang. Jadi jarang yang namanya makanan berlebih. Lupakan kebiasaan bungkus plastik bawa pulang. Bukan tradisi mereka. Kecuali kalau yang ngadain acara sesama orang Indonesia, mungkin pasangan masing masing bisa mengerti. Duh bungkus bawa pulang itu emang klasik banget kan ya. Kalau bisa sering sering. Hahaha.
Sajian menu irit inilah yang belum bisa gue realisasikan kalau mengundang tamu ke rumah. Selalu tradisi ala Indonesia yang dominan keluar. Meja makan biasanya tersaji lebih dari satu menu utama. Entah mengapa rasanya seperti ada yang kurang kalau cuma menyajikan semacam. Apalagi kalau sampai mengundang 10 orang, wihhh bisa repot banget gue mikir ini itu untuk menu yang harus dimasak. Makanya setiap tamu yang kami undang selalu terwow begitu melihat menu yang tersaji.
Gue ingat banget bagaimana mimik wajah kakak gue ketika kami diundang makan oleh sepupu suami. Mungkin dalam bayangannya, meja akan penuh dengan berbagai macam menu khas Swedia layaknya di tanah air. Ternyata yang muncul cuma sajian salmon dan kentang rebus tok. Hahaha. Mati ketawa kalau ingat itu.
6. Belanja Sesuai Kebutuhan
Kalau ke supemarket, tak sedikit warga Swedia yang belanja dengan secarik kertas di tangan. Isinya daftar belanjaan. Jadi yang dibeli sesuai yang ditulis. Kalau gue payah, mencoba menerapkan tapi tetap saja suka ga disiplin. Malah beli ini itu di luar catatan. Bahkan kadang ga dicatat. Malas! Hahaha
7. Suka Makan Knackbröd
Rasa rasanya orang Swedia doyan banget makan ini. Roti crispy tapi menurut gue malah cenderung keras dan sakit di mulut ketika dikunyah. Rasanya pun aneh. Tapi roti ini lumayan direkomen oleh dokter di Swedia. Karena kandungan seratnya sangat tinggi. Kalau dimakan agak berlendir gitu emang. Biasanya dimakan dengan lapisan butter berikut toppingan sayur maupun ikan tuna atau telur. Sarapannya orang Swedia selain Fillmjölk (mirip yogurth).
8. Suka Membicarakan Cuaca
Orang Swedia suka ngomongin cuaca? Yup betul sekali kakaaaak! Gue kalau ketemu siapa aja, biasanya mereka suka banget bilang :
“wah cuaca hari ini cerah ya” atau “uhhh dingin banget hari ini padahal semalam sudah lumayan hangat” atau “lusa kabarnya salju turun lagi” atau “suhu tadi pagi minus 33 derajat celcius”.
Pokoknya di setiap pertemuan, biasanya mereka suka menyelipkan seputaran cuaca. Tak heran memang mengingat cuaca sangat berpengaruh terhadap mood orang orang di sini. Termasuk guelah.
9. Tidak terlalu suka Rumah Berdekatan
Lagi lagi soal privacy. Kalau bisa memilih, orang Swedia lebih suka jika rumah mereka tidak berdekatan dengan rumah orang lain. Khususnya di desa tempat gue tinggal, meskipun warganya saling mengenal dengan baik, tapi untuk ruang gerak sehari hari mereka lebih suka tak perlu diketahui orang lain.
Apalagi ada masa masa dimana mereka kurang mood berbicara dengan orang lain. Masa masa dimana mereka merasa bebas melakukan apa saja baik itu di dalam maupun di luar rumah tanpa harus dilihat orang lain. Dan ini sudah mulai menular ke diri gue (nanti akan gue tulis di tulisan yang berbeda). Orang Swedia lumayan menyukai suasana yang hening. Makanya tak jarang satu rumah dengan rumah yang lain jaraknya lumayan berjauhan. Bahkan ada yang menyendiri dan tidak ada tetangga kiri kanan. Kalau teriak ya teriak aja cuma didengar angin.
10. Percaya Kalau Orang Lain Jujur
Jika kamu ke Swedia terutama di kota kota kecilnya, ada beberapa toko yang tidak memiliki penjaga. Rekaman CCTV pun tak ada. Kamu bisa membeli barang dan cukup meletakkan uang di tempat yang tersedia. Kalau dicuri? Pertanyaan ini ga terbersit di benak mereka. Karena mereka percaya bahwa orang yang masuk ke toko bukanlah pencuri. Mereka percaya kalau pengunjung yang datang adalah manusia jujur. Gila kan. Pertama tau rasanya amazing aja gitu. Awalnya gue tidak percaya tidak ada cctv, pas suami bilang memang beneran tidak ada dan kalaupun ada bisa terlihat di pintu masuk toko. Karena hukum di Swedia tidak memperbolehkan pemasangan cctv yang sifatnya secret tanpa ada pemberitahuan tertulis di pintu masuk toko.
11. Bukan Menjadi Penonton
Sudah menjadi pemandangan yang biasa jika di tanah air terjadi kecelakaan malah jadi bahan tontonan semata sebelum pihak yang berwenang datang menolong. Ditolong ga difotoin iya. Diunggah ke media sosial lengkap dengan darah darahnya. Padahal korban sudah terkapar kesakitan. Banyak alasan juga kenapa masyarakat kita bersikap sedemikian. Issue lama yang menyebut “menolong sama artinya berurusan dengan polisi” menjadi sebuah momok yang ribet dan ibarat simalakama bagi warga.
Suatu hari sekitar pukul 5 pagi, gue dan suami pulang dari rumah sakit. Musim panas waktu itu. Jadi meskipun masih pukul 5 pagi tapi matahari sudah bersinar terang. Kami melewati jalanan sepi. Tiba tiba terlihat seorang pria muda dengan mobil yang sedikit menjorok ke selokan. Suami berhenti. Dan gue pun memberi reaksi tidak setuju ketika suami tiba tiba menghentikan mobil. Gue takut kalau orang tersebut cuma drama. Inilah karena kebanyakan membaca dan menonton berita modus kriminal sewaktu tinggal di tanah air dan membuat gue ga gampang percaya dengan orang lain. Berbeda dengan suami. Mungkin dia jelas lebih paham tentang negaranya. Sehingga yang dia tau cuma menghentikan mobil dan segera menolong.
Dan ternyata beneran dong, si pria itu mengalami kecelakaan. Katanya dia lepas kendali akibat mengantuk. Dia sudah menelepon polisi. Sambil menunggu polisi datang, suami langsung menyuruh pria itu masuk ke dalam mobil. Dan entah mengapa, tetap saja saat itu kekhawatiran masih mendera kepala gue. Bolak balik gue memastikan kalau si pria itu tidak akan berbuat sesuatu yang membahayakan. Gue cuma mikir “ini jalanan sepi, kalau tiba tiba dia punya teman lain dan muncul menyerang kami?” Coba parah banget kan gue. Hahaha. Tapi percayalah, ini tidak mudah untuk gue bisa langsung yesss menerima segala situasi dan kondisi yang berbeda jauh dengan tanah air di tahun pertama ketibaan gue.
12. Kasih Kado, Hadiah, Cindera mata
Kalian pernah ga sih pengen beli kado, oleh oleh, bingkisan atau apalah itu yang sejenis, suka pusing sendiri. Suka ga enakan. Suka mikir “kemurahan ga ya”, “tar dia suka ga ya”. Gue pernah!
Tapi setelah beberapa tahun di Swedia rasa sungkan itu mulai hilang. Terinspirasi dari cara orang orang di sini kalau memberi kado atau bingkisan. Relatif simpel bahkan sangat simple malah. Memberi sesuai kemampuan dan fungsinya. Bukan malah jadi beban dan bikin pusing. Jujur ketika gue memberi sesuatu kepada warga di sini, gue feel free banget. Ga ada perasaan apakah pemberian gue bakal disuka atau tidak. Apalagi menjadi bahan omongan di belakang layar. Seperti gue bertanya pada diri sendiri ketika pertama kali menerima kado natal dari kerabat. Cuma tissue makan doang gitu? Perih! Hahaha.
Gue berusaha jujur aja sih kalau waktu itu emang gue beneran ga nyangka cuma dikasih tissue makan doang. Tapi semakin ke sini gue mulai bisa mengerti kalau memberi itu ga harus yang okeh okeh banget. Lihat momentnya juga. Kalau kado nikahan atau ulang tahun ke 50 tahun mungkin agak beda. Biasanya pun suka urunan belinya. Misalnya terkumpul hingga 2500 sek. Barulah beli barang yang kira kira diperlu yang bersangkutan.
Orang Swedia tidak gampang memberi kado dan cindera mata. Hanya di saat tertentu. Seperti di hari natal atau ulang tahun ke 50 tahun. Bagi yang belum terbiasa, bisa heran melihat jenis barang yang mereka kasih. Tissue, serbet dapur, sebuah sendok, hingga sabun. Ada juga sih yang kasih buku.
Untuk saat ini itu dulu deh. Biar ga kepanjangan bacanya. See you in my next story.
Entah mengapa tiba tiba gue pengen menulis tentang pekerja bangunan di Swedia (biar bacanya lebih simple gue sebut “tukang” aja kali ya). Tepatnya lagi tentang upah gajinya. Karena pertama tau gue lumayan kaget juga. Jadi sekitar tiga tahun lalu gue dan suami berencana menambah ruangan kamar di samping living room. Alasannya sih untuk jangka panjang. Kelak jika kami menua dan kaki sudah ga kuat naik turun tangga, kami punya kamar di lantai bawah.
Di awal awal suami uda bilang kalau biaya merenovasi dan ngebangun rumah di Swedia itu mahal. Berhubung menambah ruangan yang luasnya cuma 12 meter, suami pun mengusulkan bagaimana jika dia sendiri yang mengerjakan. Permintaan mana langsung gue tolak seratus persen. Manalah gue tega yaa kan. Udah capek kerja trus lanjut nukang? lah kapan istirahatnya. Akhirnya kami putusin pake jasa tukang.
Sebenarnya ngebangun rumah di Swedia bukanlah sesuatu yang aneh jika dikerjai sendiri oleh pemiliknya. Contohnya seperti tetangga gue. Merenovasi total bangunan rumahnya dan itu dikerjai sendiri tanpa menggaji tukang. Mau tau berapa lama selesai? Nyaris 3 tahun!
Trus kenapa juga sih dibela-belain harus dikerjai sendiri? jawabannya karena gaji tukang di Swedia itu mahal! Belum lagi harga material. Kena pajak sudah pasti. Merenovasi rumah pun di sini kena pajak. Dan itu tidak murah. Pajaknya gede. Bahkan untuk bangunan kamar yang luasnya cuma 12 meter kami dikenai biaya tukang berikut pajak hingga ratusan juta rupiah. Makanya untuk mengurangi cost yang membengkak tadi tak sedikit yang rela membangun sendiri rumah mereka.
Bahkan hanya untuk mengganti genteng gudang yang cuma seuprit bisa kena 40 juta rupiah biaya tukangnya. Ini masih menggunakan jasa perorangan loh. Tetangga gue yang cuma membangun garasi kecil (itupun bentuk bangunannya biasa banget dan tidak ada pintunya) dikenai 120 juta rupiah untuk upah tukang plus pajak.
Lihatlah garasi mobil itu. Biasa banget kan. Bangunan kayu merah yang melekat disampingnya tidak termasuk ya. Itu bangunan lama yang sudah ada sebelumnya. Biaya tukang plus pajak untuk garasi kecil itu saja bisa mencapai 120 juta rupiah.
Jasa tukang di Swedia khususnya kota Mora bisa didapat melalui perusahan penyedia jasa bangunan. Harga yang dikenakan perusahaan jelas tidak murah. Rata rata bisa mencapai 500 sek atau setara 842 ribu rupiah perjam (untuk kurs idr saat gue menulis tulisan ini). Termasuk pajak tentunya. Di wilayah Swedia yang lain gue kurang tau pasti. Dalam sehari biasanya mereka bekerja selama 7 jam. Jadi artinya kita harus mengeluarkan kocek hampir 6 juta rupiah per harinya. Hanya untuk membayar jasa tukang loh.
Sebenarnya cost ini bisa dikurangi kalau kita bisa menggunakan jasa tukang yang tidak bernaung di bawah perusahaan jasa bangunan. Jasa perorangan gitulah. Mereka rata rata memasang tarif paling murah sekitar 200 sek atau sekitar 337 ribu rupiah perjamnya. Akan tetapi tenaga tukang seperti ini terkhusus di tempat tinggal gue tidak banyak. Dan cara kerja mereka pun jelas berbeda dengan jasa tukang yang kita sewa dari perusahaan jasa bangunan. Tukang dari jasa bangunan jelas lebih profesional dari segi skill dan waktu. Bangunan juga lebih cepat selesai.
Ruangan kecil berukuran 12 meter ini mengeluarkan biaya tukang yang tak sedikit berikut pajak plus biaya material.
Menggunakan jasa tukang di Swedia bukan berarti kita bisa sesuka hati main perintah dan main ngomel. Dikit dikit ceriwis dan berdiri layaknya mandor. Di awal cukup kasih tau aja seperti apa bangunan yang kita mau. Bahkan jika menggunakan jasa tukang perorangan, yang namanya bicara harga di awal pun tidak. Karena tukang tidak mau mematok harga sebelum dia menjalankan tugasnya. Kasarnya tidak mau menafsirkan harga sebelum kerja dimulai hingga selesai. Ga ada istilah harga borongan. Cuma biasanya si tukang pun ga asal main libas harga karena setidaknya pengguna jasa sudah tau juga kira kira harga tukang di pasaran berapa. Kalau pun harganya agak meleset dikit ya harus rela. Artinya tidak ada tawar menawar. Tukang/perusahaan yang menentukan.
Tukang di Swedia harus punya standard. Malah setau gue ada pelatihan khusus untuk pemula. Jadi ga bisa asal bilang “ehh ada proyek tuh, mau ikut ga bantu ngocokin semen? Yang gue lihat kerja mereka rapi banget. Sekalipun cuma tukang perorangan yang tidak bernaung di bawah perusahaan, mereka sudah punya peralatan mesin sendiri.
Di Swedia upah gaji dan membayar jasa orang lain memang relatif tinggi. Tapi hal ini dikarenakan harga kebutuhan dan biaya hidup di Swedia juga sangat tinggi. Jadi sekalipun bayarannya mahal, bukan berarti mereka jadi kaya raya berkelimpahan uang. Karena pengeluaran mereka juga besar.
Cuma sepengamatan gue, semua jenis pekerjaan dianggap sama di Swedia. Tidak ada istilah pekerjaan ini lebih bergengsi dan pekerjaan yang itu dianggap sebelah mata. Lihat saja bayaran tukang mereka itu, malah gaji mereka bisa dibilang sangat lumayan. Tak hanya tukang, pekerja yang memasang wallpaper seluas 12 meter aja bayarannya mencapai 14 juta rupiah. Motong rambut paling murah 850 ribu rupiah, mijet badan satu jam bisa mencapai 1 juta rupiah. Semua tenaga kerja dihargai mahal. Tak pandang bulu.
Sebenarnya tidak adil jika gue harus membandingkan dengan bayaran tukang atau jasa di tanah air. Income perkapitanya pun sudah jauh berbeda. Perbedaan gaji yang mencolok akhirnya membuat kesenjangan sosial yang pada akhirnya menimbulkan pemikiran dan pandangan bahwa pekerjaan seperti tukang bangunan, pembantu rumah tangga, tukang pijet, pelayan restoran, pelayan toko, cleaning service suka dianggap sebelah mata di tanah air. Sedangkan pekerjaan di ruang kantor ber ac, meja dilengkapi layar komputer dan telepon, duduk manis di bangku empuk, dianggap lebih elite.
Di Swedia yang namanya perbedaan gaji setiap pekerja sudah pasti ada. Tapi mencolok banget sih ga. Gue bicara gaji pekerja kebanyakan ya. Makanya tak heran warga lokal di sini tidak sungkan menjadi pelayan restoran bahkan cleaning service sekalipun. Ga ada istilah malu. Karena apa? ya karena gaji mereka pun dianggap layak sama halnya dengan pekerjaan yang lain. Di Swedia jangan heran jika pekerja seperti tukang, pemasang lampu, tukang pijet, celaning service tetap punya rumah dan mobil sekelas volvo dan volkswagen. Dan bukan berarti yang bekerja di perusahaan besar lantas mobilnya lebih mewah.
Makanya kalau ada kalimat yang bilang “ya elah jauh jauh ke luar negeri cuma bersih bersih toilet, nyapu nyapu!” loh kalau gajinya memadai kenapa ga? Ingat loh hidup mereka layak. Gue bukan bicara kaya ya.
Makanya di Swedia bukan hanya imigran yang kerjanya jadi cleaning service dan pelayan restoran, warga lokal pun ga pilih pilih kerja kok. Karena bagi mereka yang penting gajinya sesuai. Mereka ga peduli dengan iming iming kerja kantoran lebih elite. Di belakang meja lebih okeh, ada komputer, ada telepon. Bahkan untuk mendapatkan kesempatan kerja menjadi seorang cleaning service pun ga mudah kok. Buktinya ga semua warga Swedia punya pekerjaan.
Di Swedia ketika ada seorang pegawai kantoran meminta berhenti dari pekerjaannya dan ingin beralih menjadi supir bus bukanlah sesuatu yang aneh. Teman suami ada yang seperti itu. Dia bosan belasan tahun duduk di kursi, di depan komputer dan di dalam ruangan yang itu itu aja. Begitu beralih menjadi supir bus dia ceria banget sekarang. Karena gaji yang dia dapat di perusahan sebelumnya tidak jauh berbeda dengan dia menjadi supir bus.
Jadi intinya, pekerjaan apapun di Swedia itu tetap dihargai. Ga dipandang sebagai pekerjaan elite atau non elite. Perbedaan gaji setiap pekerja sudah jelas ada. Tapi secara keseluruhan rata rata gaji warganya tidak terlalu mencolok perbedannya. Kecuali pekerjaan jenis tertentu yang memerlukan skil luar biasa mungkin gajinya jauh lebih tinggi. Seperti perdana menteri, politikus, tenaga ahli di bidang tertentu.
Foto mawar tak ada hubungannya dengan topik tulisan. Hanya sebagai penghias tulisan semata. Hahaha