10 Fakta Tentang Rumah Sakit Swedia

FullSizeRender (25).jpg

Gue termasuk orang yang cepat panik terhadap suatu penyakit atau keluhan di badan. Penyakit biasa pun bisa diada-adain menjadi luar biasa. Doyan banget ngebayangin penyakit seram. Padahal ketika diperiksa ternyata semuanya oke oke saja.  Entah apalah yang ada dipikiran gue ini.

Ada keluhan sedikit baru berasa lega setelah ke dokter. Padahal yang namanya dokter sebenarnya pengen gue hindari. Ironis. Dan ini sudah berakar sejak gue tinggal di Jakarta. Tepatnya setelah hari hari penuh dengan kelelahan.

Sejak tinggal di Swedia barulah gue menyadari bahwa tidak selamanya keluhan di badan harus sembuh di tangan dokter. Tubuh sendiri pun sanggup dengan baik menyembuhkan sakit. Ini pengalaman gue ketika terkena penyakit mirip Frozen Shoulder. Tapi dokter bilang bukan Frozen Shoulder. Dirujuk ke spesialis dan si dokter bilang tidak ada obat yang sangat berarti yang sempurna menyembuhkan sakit gue. Walaupun sakitnya luar biasa tapi menurutnya akan hilang dengan sendirinya. “Tunggu saja kurun waktu 6 bulan ke depan”.

Gue ingat banget ucapan beliau waktu itu. Dan ternyata benar tanpa diobati perlahan nyeri di punggung gue hilang. Tadinya kedua tangan gue tidak bisa dipertemukan dan sekarang sudah tidak ada masalah. Ternyata obatnya adalah cukup sabar aja menahan sakit. Hahaha.

Awalnya gue sempat ngedumel. Udalah lama menunggu schedule ketemu si profesor ini, ujuk ujuk cuma mendengar jawaban tidak ada obat yang sangat berarti.  Tapi lucunya gue malah percaya dengan apa yang dia bilang. Merasa lebih tenang. Dibalik ketenangan si profesor terselip ucapan yang memberi harapan kalau sakit yang gue derita bakal sembuh meskipun tanpa harus dicekokin obat.

Dan gue pun baru mengerti tidak selamanya ke dokter harus berujung dengan obat. Tugas utama dokter sebenarnya kan memeriksa, mengkaji dan menjelaskan apa yang dia tau, melakukan tindakan yang dianggap perlu dan menyuruh apa yang harus dan tidak boleh dilakukan pasien. Jadi ke dokter its not only about medicine.

Tahun pertama di Swedia jujur saja membuat gue disappointed dengan sistem pelayanan kesehatan di negara ini. Gue ditampar culture shock yang lumayan menggigit. Sampai akhirnya perbedaan yang gue lihat bisa gue terima karena memang ada benarnya.

Tidak hanya di rumah sakit tanah air, pengalaman gue dengan rumah sakit di Swedia pun lumayan banyak. Mulai dari pemeriksaan biasa, luar biasa sampai opname di hospital. Dari pengalaman itulah gue berusaha menuangkannya dalam bentuk tulisan. Semoga saja berguna.

fullsizerender-24

Lantas apa yang bisa gue simpulkan dari Pelayanan Rumah Sakit di Swedia, khususnya di kota Mora, Dalarna?  Berikut di bawah.

1. MAKE APPOINTMENT 

Awalnya gue sangat terganggu dengan sistem ini. Ketemu dokter merasa dibatasi. Ga bisa sesuka hati kapan gue mau. Apalagi menunggu schedule bertemu dokter lumayan lama. Bisa mingguan bahkan bulanan. Kecuali jika keluhan kita sangat serius, biasanya dipercepat dalam hitungan hari (pengalaman pribadi). Intinya tergantung keluhanlah.

Make Appointment biasanya dilakukan untuk keluhan yang sifatnya tidak terlalu emergency (kita merasa atau menduga duga  punya keluhan di tubuh, tapi kondisi fisik masih lumayan kuat. Bisa berjalan, bekerja dan beraktivitas. Atau bisa juga hanya ingin berkonsultasi maupun cek rutin kesehatan, periksa ibu hamil, atau sejenisnya.

Kenapa harus Make Appointment terlebih dahulu?

Dengan membuat appointment terlebih dahulu, kita lebih terlayani. Artinya memang jadwalnya kita. Tidak perlu mengantri. Duduk sebentar nama langsung dipanggil. Ontime sekali. Dan yang lebih penting lagi dokter juga fokus memeriksa kita tanpa harus dikejar bayang bayang akan antrian pasien yang lain. Kita punya waktu yang lumayan cukup untuk mendengar penjelasan dokter pun untuk kita bebas bertanya juga.

Pengalaman gue akibat waktu yang cukup ini, dokter bisa menjelaskan dengan bahasa yang tidak terburu buru. Jauhlah dari komunikasi satu arah dimana pasien menjelaskan keluhan, si dokter cuma menunduk sambil corat coret kertas. Periksa detak jantung dan sodorin resep. Menunggu antrian sampai berjam, ketemu dokternya paling 10 menit 🙂

2. PELAYANAN EMERGENCY (GAWAT DARURAT)

Bagaimana jika pasien datang ke rumah sakit tanpa appointment terlebih dahulu? Boleh boleh saja. Emergencylah. Kadang pasien yang tau separah apa keluhan yang dirasakan. Barulah nanti sesampainya di rumah sakit pihak medis akan memeriksa seserius apa keluhan pasien.

Emergency tidak harus selamanya darurat. Karena ada saja pasien yang datang dengan keluhan yang tidak terlalu mengkhawatirkan, atau yang lebih parah lagi cuma modal takut langsung ngibrit ke rumah sakit. Dan salah satunya itu adalah gue 🙂

Kalau tidak terlalu parah bahkan cenderung tidak berbahaya, pasien lebih banyak ditangani perawat. Dan akibatnya harus siap menunggu dokter dalam waktu yang lumayan lama. 

3. FASILITAS AMBULANCE

Seumur umur baru gue merasakan dibawa ambulance setelah menetap tinggal di Swedia. Itupun sangat tidak disangka kejadiannya. Awalnya gue dan suami hendak belanja kebutuhan dapur. Setibanya di kota, kami bermaksud Fika  di sebuah cafe.

Entah mengapa tiba tiba gue pengen muntah. Dan langsung menuju toilet cafe. Begitu keluar, gue merasa pusing dan jantung berdegup kencang. Cemas sudah pasti karena  merasa debaran jantung gue tidak wajar. Melihat suami panik, pegawai cafe langsung aware dengan keadaan gue. Mereka pun menghubungi 112, Emergency Call Public di Swedia.

Karena kebetulan sedang berada di kota, tak sampai 10 menit (kalau tidak salah), ambulance langsung datang. Awalnya gue merasa risih kalau sampai semua orang ngeliatin gue. Dan ternyata cuma geer semata. Orang orang berjalan biasa saja tanpa pengen tau apa yang terjadi🙈

Begitu masuk gue melihat betapa cekatannya petugas menjalankan tugasnya diantara peralatan medis yang memenuhi ambulace. Gue langsung ditensi, detak jatung diperiksa, gue terus diajak bicara. Dan entah mengapa, gue merasakan sekali Sense of Humanity dari si petugas ketika dia memberi pertolongan ke gue. Yang gue rasakan saat itu si petugas benar benar menganggap jika nyawa gue sangat penting untuk diselamatkan.

Jadi tidak terkesan menjalankan tugas semata. Tadinya gue berpikir liputan 991 atau acara sejenis hanyalah pencitraan dari sebuah skenario tv. Ternyata di dunia nyata beneran ada. Dan  itu gue lihat dan rasakan sendiri.

Di Swedia, fasilitas ambulance bisa dipanggil kapan saja dan dimana saja, sekalipun di desa kecil seperti tempat gue tinggal. Operator akan menghubungkan dengan rumah sakit terdekat. Petugas akan memeriksa dan membuat laporan keadaan si pasien. Begitu tiba di emergency, pasien langsung diperiksa oleh tim medis.

4. SEMUA TENAGA MEDIS DIAKUI KREDIBILITASNYA 

Bertemu dokter di Swedia itu tidak mudah. Apalagi sekelas dokter spesialis. Kita ga bisa ujuk ujuk bilang “saya mau ke dokter jantung, atau saya mau ke dokter saraf”. Semua ada tingkatan prosedur pemeriksaannya.

Sebelum bertemu dokter umum, biasanya pasien ditangani oleh perawat. Sebelum dokter datang, perawat mengambil sampel darah untuk di cek ke laboratorium. Jadi tidak harus menunggu intruksi dokter. Kadang kadang seorang perawat dipercaya menjalankan layanan klinik kecil, semacam puskesmas yang dibangun Kommun (pemda), guna memberi layanan kesehatan kepada masyarakat yang tinggalnya lumayan jauh dari kota. Dan itu tanpa ada dokter.

Dari hasil pemeriksaan laboratorium barulah nanti bisa dilihat seserius apa penyakit kita. Bisa dirujuk ke dokter umum. Dan jika diperlukan baru dirujuk ke dokter spesialis. Wanita hamil di Swedia pun sebagian besar hanya dilayani Barnmörska (semacam bidan) dan bertemu dokter spesialis Obgyn ketika ada masalah serius saja.

Jadi semua petugas medis di Swedia diakui kredibilitas kerjanya. Tidak ada anggapan kalau dokter spesialis lebih berbobot, dokter umum apalagi perawat jadi dianggap sebelah mata. Semua penanganan kesehatan tergantung seberapa serius penyakit si pasien.

5. STANDARD OPERATING PROCEDURE (SOP) YANG MEMBUAT NYAMAN

Yang gue bahas di sini bukanlah SOP rumah sakit secara keseluruhan. Kalau itu manalah gue tau kan ya. Gue cuma membahas sesuatu yang selalu gue dapatkan ketika berkunjung atau berobat ke rumah sakit di Swedia. Dan gue menyebutnya sebagai Standard Operating Procedure (versi gue), yang sangat menghargai gue sebagai pasien. Apa itu?

-Sesuatu yang simpel tapi sangat bermakna. Sapaan “helo, nama saya Anita (katakanlah begitu), sambil mengulurkan tangan, “Saya perawat atau saya dokter yang yang akan memeriksamu. Hur Mör Du? (Apa kabarmu?). Sapaan seperti ini mostly gue dapatkan ketika bertemu dokter maupun perawat di rumah sakit. Walaupun cuma kalimat sederhana, tapi bermanfaat bagi si pasien. Disapa dengan senyum dan disalam hangat.

Dokter selalu keluar dari ruangan, memanggil nama kita, dan menghampiri dengan sebuah sapaan dan uluran jabat tangan. Tidak pernah gue melihat, dokter duduk manis dan menunggu  pasien dengan wajah serius di dalam ruangan. Selalu mereka yang keluar menghampiri.  Paling in case, pasien dipanggil perawat, lalu tidak lama si dokter masuk. Itupun si dokter tetap memperkenalkan diri dan menjabat tangan pasien.  

6. SETIAP TINDAKAN DOKTER BERUSAHA MENJELASKAN

Setiap dokter melakukan tindakan, sebagian besar dibarengi penjelasan. Contohnya, “Saya akan memberi gel ke kulit leher kamu, tidak sakit cuma sedikit dingin” atau “Saya mulai ya masukin alatnya (sambil nunjukin alat ke kita) kemudian “Sekarang saya pakai alat yang berbeda, tujuannya untuk…….. bla bla…(sambil menjelaskan).

Tadinya gue malah berpikir ribet amatlah ya pakai dijelasin segala. Karena pengen cepat cepat selesai diperiksa. Tapi setidaknya mereka berusaha membuat pasien bisa lebih mengerti tindakan yang mereka lakukan itu gunanya untuk apa. Bahkan sewaktu gue menjalani operasi kecil jempol tangan (duh ini sakitnya banyak banget ya), tepatnya di ruang operasi (sebelum tindakan) si dokter menjelaskan fungsi operasi yang akan gue jalani untuk apa.

7. MENDAPATKAN RESEP OBAT DAN ANTIBIOTIK TIDAK GAMPANG

Begitu gampangnya gue mendapatkan obat dan antibiotik di Indonesia dulu, sampai dokter sanggup memberi antibiotik tanpa melakukan test lab terlebih dahulu. Cuma modal keluhan dari mulut pasien. Contoh sederhana aja deh. Klinik 24 jam lumayan ada yang seperti ini. Gue pernah mengalami. Rasanya dulu jika ke dokter tanpa membawa pulang resep obat serasa ada yang kurang. Setidaknya itulah yang gue rasakan. Dan itu masih terbawa sampai di awal awal ketibaaan gue di Swedia. Mindset yang sampai membuat gue kesal karena dokter di Swedia sangat susah  memberi obat apalagi antibiotik.

Masih ingat pertama sekali gue masuk emergency akibat menderita diare. Dan berhubung waktu itu belum mengerti, gue mulai frustasi. Kok cuma perawat yang menangani gue. Dokternya mana? Dan gue pun minta diberi obat diare.

And you know what? dokter belum bisa segera datang karena masih menangani pasien yang lebih serius darurat. Padahal mencret gue kurang apa coba. Trus how about my medicine? asupan oralit sudah cukup katanya. Inilah kalau kebiasan minum En**stop.

Perawat bilang selama oralit masuk ke tubuh, air yang terbuang melalui bab tidak membahayakan jiwa gue. Logikanya ada yang keluar tetapi tetap ada yang masuk. Apalagi tensi gue masih normal, detak jantung juga ga masalah, dan gue tidak sampai demam. Dan satu lagi, perawat melihat jika gue masih sanggup berjalan ke kamar mandi sendirian. Sempurnalah menjadikan gue sebagai pasien yang masuk kategori cukup dirawat di rumah. Dan betul saja. Dokter akhirnya datang dan memeriksa laporan si perawat dan lanjut memeriksa gue. Dan taraaaaaaaa…..kamu boleh pulang!

Huaaaaa….memblenya mak. Cuma segitunya sih dok. Perih! 😩

Kata si dokter diare yang gue alami bisa gue atasi di rumah. Gue ga perlu menginap di rumah sakit. Dan tidak perlu meminum obat. Minum yang cukup saja. You dont need to be worry. Dan its true, gue sembuh dong. Dan terbukti sampai hari ini, gue masih sehat aja dan tetap menulis di blog. Hahaha.

Inti dari cerita di atas adalah pasien ga boleh manja. Selama hasil tes semuanya normal, tidak perlu merengek rengek. Gue cuma terkena culture shock. Terbiasa dicekokin dengan obat dan maunya sembuh cepat. Padahal tanpa obat pun sebenarnya bisa sembuh. Pokoknya obat dan antibiotik sesuatu yang tidak mudah diterima pasien di Swedia. Sangat hati hati. Kalaupun ada obat sejuta umat yang dijual tanpa resep dokter, jenisnya juga tidak banyak. Sudah lolos sensorlah.

8. TIDAK PERNAH MELIHAT SALES FARMASI di RUMAH SAKIT

Dulu kalau menunggu antrian dokter di tanah air, sering melihat para sales farmasi menunggu atau menghampiri dokter ketika lewat. Tujuannya sudah bisa dimengerti untuk apa.

Di rumah sakit Swedia gue belum pernah melihat pemandangan seperti ini. Gue kurang mengerti juga, seperti apa kordinasinya. Yang gue tau hanyalah, dokter cukup menulis resep melalui sistem online yang langsung conecting ke seluruh apotek di Swedia. Jadi ga pake tulisan di selembar kertas lagi.

Nanti begitu tiba di apotek, pasien hanya memberitahu Person Number (semacam nomor kode perseorangan penduduk) dan barulah obat diterima pasien lengkap dengan keterangan obat dan cara pemakaiannya.

Begitupun dengan rekam medis pasien, semuanya memakai sistem komputerisasi. Mulai dari dokter yang pernah menangani, tindakan apa saja yang sudah dilakukan terhadap pasien, tes laboratorium, jenis obat atau vitamin yang pernah kasih. Jadi kalau next time dokternya ganti, riwayat pasien bisa kelihatan. Pasien pun tidak harus bolak balik menerangkan panjang lebar lagi.

9. LAYANAN GRATIS KESEHATAN 

Setiap warga negara dan  pemegang kartu Resident Permit di Swedia,  semuanya berkesempatan untuk mendapatkan layanan gratis kesehatan dari pemerintah. Namun ada ketentuannya.

Untuk biaya layanan rumah sakit secara keseluruhan, seperti biaya dokter, periksa kesehatan, dan opname, pasien wajib membayar biaya pengobatan sesuai jumlah tagihan di setiap kunjungannya. Namun biaya pengobatan ini hanya dibatasi sampai senilai 2000 Sek dalam setahun. Apabila sebelum jangka waktu satu tahun si pasien sudah mengeluarkan biaya hingga 2000 Sek, maka sisa bulan dalam setahun itu menjadi gratis. Demikian ketentuan ini berlaku sampai tahun tahun berikutnya.

Demikian juga dengan biaya obat obatan. Jika pembelian obat mencapai 2500 Sek sebelum jangka waktu setahun, maka pembelian obat bulan berikutnya menjadi gratis.

Sedangkan untuk perawatan gigi, jika pembayaran sudah mencapai 3000 Sek sebelum jangka waktu satu tahun, maka pembayaran selanjutnya diberi potongan 50 % (untuk gigi tidak ada layanan gratis).

10. TIDAK ADA PASIEN KELAS SATU, DUA DAN TIGA

Yup…tidak ada pasien beda kasta di rumah sakit Swedia. Semua mendapat pelayanan yang sama. Kalau bicara hati nurani, idealnya sih harus seperti ini ya.

fullsizerender-23

Lantas sudah cukup puaskah warga Swedia dengan sistem pelayanan kesehatan di negaranya? Sepertinya tidak juga. Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Di satu sisi ada saja keluhan akan kebijakan pemerintah Swedia yang ingin mengurangi kegiatan rumah sakit di kota kota kecil, dan menggabungkannya ke kota besar. Efisiensi waktu dan biaya oprasional menjadi faktor utama. Juga tenaga kerja medis yang tidak terlalu banyak yang mengakibatkan layanan appointment semakin lama terealisasi. Masalah salary yang juga menjadi issue hangat belakangan ini di kalangan pekerja medis sedikit banyak berpengaruh kepada kinerja rumah sakit.

Tapi buat gue pribadi, dari pengalaman berobat yang gue jalani dari waktu ke waktu, semakin hari semakin merubah pola pikir gue akan pelayanan rumah sakit di Swedia. Lebih membuka matalah. Meskipun pernah mendapat pelayanan kurang mengena di hati, tetapi secara keseluruhan rasa kemanusiannya lebih diutamakan daripada nilai uang. Gue tidak perlu menjadi orang kaya dulu baru bisa mendapat pelayanan yang baik.

FullSizeRender (26).jpg

Gue juga lebih bisa memahami, ketika sakit, ya harus sabar dan tidak perlu adu urat leher dan minta diladeni cepat. Bisa mengertilah mana yang harus diprioritaskan. Karena gue sudah mengalami semua, dari yang sakit ecek ecek sampai sakit yang benar benar menakutkan. Gue sudah melihat dan merasakan langsung, bagaimana dokter menangani pasien yang benar benar darurat dan tidak.

Contohnya ketika gue sakit sampai dibawa ambulance. Dokter seketika datang, cek darah, cek jantung, bolak balik masuk ruangan, scanning kepala, dan langsung menyuruh gue opname di rumah sakit. Jadi baru gue paham, kenapa ketika menderita diare, dokter tidak buru buru menangani gue. Karena mengobati pasien yang kondisinya lebih kritis, bertarung dengan nafas dan nyawa, sudah sewajarnya mendapat pertolongan yang cepat.

Di awal awal memang sangat putus asa ya. Dapat obat susah, ketemu dokter susah, sementara sewaktu di tanah air pilek batuk langsung cuss ke dokter, demam ringan cuss ke dokter. Malah cussnya bisa langsung ke dokter spesialis pula. Asal punya uang aja. Nah ketika berada di negara orang, akhirnya kebiasaan sembuh secara instan dengan obat sangat dirindukan. Bahkan ada yang tidak kuat dan memilih balik ke tanah air. Jadi semua kembali ke pribadi masing masing. Seberapa kuat kita menerima sesuatu dengan cara yang tidak gampang dan instan. Ini semua masalah pemahaman dan pengertian kita aja🙂

See you in my next story

Salam dari Mora,

Dalarna, Swedia.