Suatu waktu di saat liburan musim panas, saya dan suami berkunjung ke salah satu kota bernama Luleå. Suami sudah wanti wanti jika kami harus singgah ke kota ini. Ternyata Luleå punya wisata unik. Namanya Gammelstad Church Town, sebuah kota wisata yang sangkin uniknya sampai ditetapkan sebagai UNESCO World Heritage Site.


Di sinilah berjejer rapi rumah rumah kayu berwarna merah layaknya komplek hunian pada umumnya. Jika belum mengetahui cerita sejarah dibalik berdirinya bangunan rumah rumah ini, sekilas tidak ada yang istimewa. Cuma bangunan rumah. Tapi begitu tahu jika bangunan ini dibangun untuk apa, barulah masuk akal kenapa sampai dibilang unik.
Sekitar tahun 1600an, masa belum ada moda transportasi, tak sedikit warga Swedia yang bermukim sangat jauh dari lokasi gereja. Buat mereka perjalanan menuju gereja butuh waktu hingga berhari hari. Sebagai negara pertama yang menganut paham Luthern, penerapan aturan gereja kala itu sangat kuat di Swedia.

Setiap warga harus menjadi Luthern. Harus protestan. Harus beribadah ke gereja. Harus dan tidak boleh tidak. Bagi orang orang yang tinggalnya sangat jauh dari gereja diberi kelonggaran. Misalnya dalam setahun diperbolehkan absen beberapa kali tidak mengikuti kebaktian minggu. Setiap beribadah mereka akan didata. Istilah garangnya “diabsen” .


Jika perjalanan menuju gereja saja butuh waktu berhari hari, bagaimana pulangnya? Butuh waktu berhari hari juga dong. Waktu dan tenaga lumayan terkuras. Mereka butuh waktu untuk beristirahat sebelum mereka kembali pulang ke rumah masing masing.
Lantas dimana mereka tinggal? Jika bicara tentang abad ke16, kehidupan di Swedia masih serba terbatas. Penginapan belum ada. Jalan satu satunya adalah membangun rumah di sekitar lokasi gereja. Di sinilah mereka tinggal sementara sebelum akhirnya pulang ke rumah mereka yang sebenarnya.

Bayangkan…..membangun rumah di masa itu tidaklah mudah. Tapi mau tidak mau harus dibangun. Karena setiap warga wajib ke gereja. Suka atau tidak suka. Karena jika tidak, ada sanksi yang akan mereka terima. Mereka harus membayar denda.
Ketika melihat secara langsung barisan rumah rumah ini, saya sulit percaya ketika tahu alasan warga membangunnya. Sebuah perjuangan. Saya tidak tahu apa yang ada di pikiran mereka saat itu. Apakah mereka rela, sukacita atau terpaksa. Apakah mereka benar benar ingin memuliakan Tuhan atau tidak. Hanya mereka yang tahu.

Rumah rumah di Gammelstat Church Town sudah lumayan banyak yang mengalami renovasi. Bahkan ada yang sudah diperbesar. Hingga saat ini semua bangunan rumah di Gammelstat church town masih ada pemiliknya (privat). Ditempati dan bahkan ada yang sedang proses dijual ke publik.

Gammelstat Church Town memiliki 408 rumah. Buaaaanyak banget! Mirip sebuah kota. Kota gereja tepatnya. Bangunan rumah rata rata berukuran kecil dan tidak terlalu tinggi. Pun susunan kayu tidak begitu rapi. Semua rumah nyaris berdempetan. Berbeda dengan tipikal rumah hunian Swedia yang pada umumnya saling berjauhan.
Seiring waktu rumah rumah ini bertambah fungsi. Tidak melulu karena ibadah gereja, warga juga menempati rumah kedua mereka ketika menghadiri pertemuan besar, pasar natal, pasar tradisional dan perayaan musim panas yang lagi lagi kala itu selalu diadakan di sekitar lokasi gereja.
Swedia dulunya memiliki banyak “Church Town”. Setidaknya 71 church town pernah berdiri di seluruh wilayah Swedia. Tapi yang masih bertahan dan tetap lesatari hingga saat ini hanya tinggal 16 church town. Church town yang paling luas dan besar serta the best adalah Gammelstad churh town di Luleå ini.
Lebih detailnya keunikan bangunan rumah rumah di Gammelstad Church Town bisa dilihat pada rekaman sederhana pada video di bawah.
Kenapa church town di Swedia bisa sebanyak itu? karena power gereja di masanya sangat kuat di Swedia. Bisa dibilang di masa itu “semua tentang gereja”. Raja dianggap sebagai utusan Tuhan. Raja hanya mendengar dan menjalankan apa yang menurutnya baik untuk Tuhan. Raja tidak perlu mendengar keluhan rakyat tapi suara Tuhan.
Sehingga keluarlah ultimatum setiap warga harus ke gereja. Bagaimanapun caranya. Jadi bukan karena panggilan hati. Pengenalan agamanya bukan melalui penyebaran firman dan pendekatan secara rohani.
Tidak usah jauh jauh deh. Di desa tempat saya tinggal, orang orang harus berkuda sekitar 50 kilometer menuju gereja. Bahkan orang orang yang tinggal di pulau ada yang meninggal karena mereka harus berjalan di atas danau yang belum benar benar membeku dan tenggelam ke air yang super dingin. Gereja berada di pulau lain. Dan waktu itu belum ada jembatan penghubung antar pulau.

Tidak sedikit yang menerima dan menjalankan aturan gereja dengan sukarela dan sukacita. Tapi tidak sedikit juga yang hopless, kecewa dan marah. Sehingga kemiskinan kala itu dan kerasnya aturan gereja membuat warga Swedia banyak yang berimigrasi ke Amerika Serikat. Waktu itu selevel pendeta tidak hanya disegani tapi juga ditakuti. Bahkan tanda tangan seorang pendeta sangat menentukan apakah seseorang bisa keluar mengadu nasib ke Amerika/negara lain atau tidak.


Semua aktivitas dan perayaan tahunan harus berpusat di sekitar gereja. Jadi warga yang tinggalnya sangat jauh dari gereja harus membangun rumah di sekitar gereja sebagai tempat persinggahan sementara. Inilah yang membuat mengapa church town relatif banyak di Swedia.
Church Town lain yang sempat kami singgahi adalah Lappstaden Arvidsjaur. Berada di Lapland dan bangunannya masih lebih tradisional. Lagi lagi dibangun warga karena tempat tinggal mereka sangat jauh dari gereja.
Setengah bagian dari keseluruhan bangunan di Lappstaden Arvidsjaur adalah bangunan suku Sami. Sebagiannya lagi bangunan Härbre milik warga Swedia. Hingga sekarang bangunan bangunan ini masih ada pemiliknya. Jadi bukan open air museum. Tapi turis bisa mengunjungi tempat ini setiap saat. Dibuka untuk umum selama 24 jam penuh.
Masing masing pemilik rumah rumah hingga saat ini masih rutin melakukan kegiatan tahunan. Di bulan Agustus biasanya mereka mengadakan pertemuan dan perayaan besar. Sekedar meneruskan tradisi yang ada.
Lain lagi di wilayah Rättvik Dalarna Swedia, tidak jauh dari halaman gereja berdiri barisan rumah rumah kayu kecil yang sangat tradisional. Bedanya bangunan kayu ini bukan untuk manusia melainkan untuk ternak kuda.



Bayangkan hanya untuk beribadah ke gereja mereka khusus membangun rumah untuk kudanya. Kenapa? ini terkait jika musim dingin tiba. Jadi ketika mereka beribadah, kuda kuda ini tidak akan kedinginan. Habis beribadah mereka akan kembali lagi ke rumah masing masing. Setidaknya 192 kuda bisa ditampung di rumah rumah kuda ini. Amazing!
Klik video di bawah untuk melihat secara detail rekaman church town di Lappstaden Arvidsjaur
Lantas bagaimana power gereja di Swedia di jaman serba digital sekarang? lambat laun mulai berkurang. Setiap orang bebas menentukan pilihan. Bebas untuk tetap beriman kepada Tuhannya atau bebas untuk menjadi seorang yang tidak percaya.
Bebas menyembah apa saja sekalipun selevel doraemon, kalajengking, ironman, spiderman atau apalah itu. Kekecewaan akan catatan sejarah di masa lampau bukan tidak mungkin membuat rakyat Swedia memilih untuk tidak percaya Tuhan. Iya…tak bisa dipungkiri jika Swedia adalah salah satu negara yang penduduknya lebih banyak memilih menjadi Atheis.
Swedia 2019
Whoa sepi ya…kalau disini mungkin seperti unit perumahan yang baru dibangun dan siap jual…Nice info mba..thanks for sharing
LikeLike
Sama sama mba😉
LikeLike
cerita yang menarik. Kayaknya org jaman dulu hidupnya penuh komitmen 😀 Yang saya suka dari kunjungan ke tempat2 bersejarah adl jd tergerak untuk instropeksi diri, ya
LikeLike
Mengunjungi tempat bersejarah memang menarik
LikeLike