Setelah hampir tiga bulan tak menulis di blog……….ooooo my blog! Aku kangen!
Jadi ceritanya, saya belum lama tiba di Swedia. Tepatnya sekitar minggu lalulah. Setelah mudik ke tanah air hampir dua setengah bulan lamanya. Mudik ke kampung halaman. Dua bulan lebih rasanya tak cukup melepas rindu. Keluarga, teman, kerabat, tempat wisata, kuliner hingga keseharian yang terlihat mata. Semuanya masih jelas tersimpan dalam memori. Kemana pun kaki melangkah, kampung halaman ibarat orang tua. Selalu akan diingat.
Sejak saya pindah dan menetap di Swedia di tahun 2014 silam, saya sama sekali belum pernah mudik ke tanah air. Ada alasan yang paling kuat yang membuat saya selalu mengulur waktu untuk tidak pulang. Penyakit aerophobia yang semakin meraja membuat saya malas pulang.

Sampai akhirnya saya mendapat kabar kalau saya harus pulang dikarenakan unit apartemen yang pernah saya beli semasa kerja di Jakarta sudah waktunya signing Akta Jual Beli (AJB). Sebelum saya berangkat ke Swedia, sebenarnya saya sudah membuat surat kuasa secara notaril agar penandatangan AJB bisa diwakili oleh saudara saya. Dikarenakan satu dan hal lainnya, saya berubah pikiran dan memutuskan untuk hadir sendiri dan pulang ke tanah air.
Saya berangkat sendirian tanggal 2 September 2018 dengan menggunakan penerbangan Garuda Indonesia. Suami saya menyusul datang di bulan Oktober dikarenakan dia harus bekerja. Sekilas tentang penerbangan saya, jauh jauh hari saya sudah sounding ke suami jika saya ingin terbang bersama penerbangan flat merah ini. Mengapa? karena saya punya alasan sendiri.
Dikarenakan phobia terbang, entah mengapa semacam ada perasaan lebih nyaman naik Garuda dibanding maskapai penerbangan lain. Maskapai penerbangan seperti KLM, Emirates dan Finair pun tak berhasil mencuri hati saya. Ini sebenarnya urusan sugesti saja sih. Saya sangat sadar malah. Tapi buat saya pribadi, selama saya bisa memilih penerbangan mana yang mampu memberi sugesti nyaman kenapa tidak? Wuihhhh, ini penerbangan jauh loh. Untuk level saya yang takut terbang, waktu belasan jam itu bukan main main. Sangat menyiksa dan melelahkan batin.
Predikat World Best Cabin Crew yang disandang Garuda Indonesia selama 5 tahun berturut adalah alasan utama saya memilih penerbangan ini. Bersama Garuda ada semacam sugesti kalau saya punya teman baik selama penerbangan karena bisa bertemu cabin crew yang notabene orang Indonesia. Bisa berbahasa Indonesia dengan mereka. Berasa ada saudara atau teman senegara selama penerbangan. Bisa minta tolong kalau saya memerlukan sesuatu tanpa ada perasaan takut dicuekin (pengalaman dengan maskapai penerbangan dari negara sebelah).
Dari Arlanda Stockholm, saya naik KLM yang memang menjalin kerja sama dengan maskapai Garuda Indonesia. Saya harus transit ke bandara Schipol di Amsterdam. Begitu tiba di gate, oaaaalah kok malah cengeng. Masa membaca tulisan Garuda Indonesia di tubuh pesawat aja rasanya pengen nangis. Tubuh pesawat dengan embel embel “Indonesia” itu seolah mewakili tanah yang akan saya datangi.
Seolah bilang “hai ajheris, welcome to Indonesia ya”. Berasa tanah air uda di depan mata. Uda ga perlu menempuh lautan benua lagi. Berasa keluarga uda menyambut haru saya. Berasa rumah uda di depan mata. Ya ampun, teryata saya beneran uda kangen tanah air. Dan betapa bangganyalah saya, ketika satu persatu para penumpang yang 90 persen adalah orang asing, silih berganti motoin badan pesawat dan selfie dengan latar tulisan Garuda Indonesia itu. Huuu huuu huuu makin terharu!
Sesampainya di dalam pesawat, saya langsung disambut ramah para pramugari dan alunan musik batak. Duh, makin baper deh. Meski selama penerbangan kadang kadang rasa phobia mulai melanda dikarenakan turbelensi, tapi setidaknya gue merasa aman karena ada orang Indonesia di dalam pesawat. Hahahaha. Kocak ga sih. Atau tepatnya aneh? Tapi sudahlah. Susah untuk dijelasin mak!

Tiba di bandara Soekarno Hatta, saya dijemput kakak, adek dan ponakan. Rasanya tak percaya melihat wajah mereka secara langsung karena selama ini cuma melalui video call. Cipika cipiki sambil menahan tangis gembira. Welcome to Indonesia! Tanah air cuyyy! Yuhuiiiii.
Cuma sayangnya, baru empat tahun tinggal di Swedia sudah membuat tubuh saya susah berkompromi dengan suhu panas di Jakarta. Puuuanassss mak. Bener bener kepanasan. Sudah pakai Ac masih juga kepanasan. Saya butuh satu bulan baru benar benar bisa beradaptasi dengan suhu. Tak ayal saya sering mandi pukul 1/2 satu malam. Kaga masuk angin!
Belum lagi urusan perut, hari kedua langsung mencret mencret. Hahaha. Tapi emang begitulah. Pokoknya perut saya lumayan gampang mules. Paling setelah memasuki minggu kedua ketiga, makan minum apa saja sudah mulai kebal.
Selama di tanah air, saya suka kaget dengan klakson mobil yang nyaris tak pernah lagi saya dengar selama tinggal di Swedia. Melihat kerennya pengemudi sepeda motor yang lihai menyelip sana sini. Suami saya suka ternganga kalau melihat yang beginian. Hahaha.

Terus terang tanpa bermaksud melebih lebihkan, saya suka parnoan ketika berada di keramaian. Tapi bukan maunya saya. Perasaan itu datang dengan sendirinya. Meski baru empat tahun tinggal di Swedia, tapi keadaan tenang di desa tempat saya tinggal membuat saya merasa sangat berhati hati dengan kriminalisasi. Ga perlu jauh jauh deh, kartu debet saya belum apa apa ada yang berusaha ngebobol kok. Saya baru tau ketika kartu debet saya diblokir oleh salah satu bank di Swedia karena terlihat ada indikasi penggunaan pin yang salah sampai tiga kali berturut. Untung dana gue terselamatkan. Gila kan.

Selama di tanah air, saya lebih banyak memilih quality time dengan keluarga. Tidak bisa saya penuhi semua ajakan teman untuk bertemu. Paling memilih teman teman yang saya anggap sangat dekat. Buat saya, keluarga adalah yang paling utama. Bahkan untuk menggunakan kamera sekalipun saya batasi. Ya meski sesekali tetap jepret jepret juga. Dikondisikan aja waktunya. Tapi untuk ukuran saya yang suka photograpy, kamera lebih banyak tergantung. Banyakan pakai handphone doang.

Liburan kemaren membuka mata hati saya betapa di umur saya yang sekarang, arti keluarga sangatlah penting. Ada rasa mengharu biru ketika saya harus meninggalkan mereka untuk kembali pulang ke Swedia. Melihat wajah kakak abang saya yang sudah mulai menua, bagaimana mereka melayani saya dengan baik, rasanya ga pengen pulang. Tapi ya memang harus pulang.
Karena rumah kita sendiri adalah tempat dimana hati kita berada. Sekalipun rumah saya berada di wilayah antah brantah mana, ada masa dimana saya kangen dengan rumah. Ketika saya di tanah air, ada perasaan rindu akan kamar tidur, dapur hingga toilet. Ada perasaan rindu akan privacy dimana saya bisa memutuskan sendiri apa yang harus saya kerjakan tanpa ada orang ramai. Ya perasaan gitu gitulah.

Sehingga tak ayal, sewaktu di Jakarta (ketika suami belum datang ke Indonesia), sesekali saya memilih me time di hotel. Atau setelah suami datang, kami memilih quality time berdua beberapa hari di hotel. Keluarga gue sangat mengerti.
Dua bulan setengah rasanya tak cukup untuk hunting semua tempat wisata dan kuliner. Tapi kami cukup tau diri dengan memilih liburan santai. Sesuaikan kemampuan energi badanlah. Bali dan Sumatra Utara adalah pilihan kami. Sekalian pulang ke tanah leluhur keluarga besar dan jiarah ke makam kedua orang tua. Selebihnya nyantai di rumah, makan bersama di luar. Meski selama di tanah air, tak sedikit kuliner yang lumayan mengecewakan. Entah mengapa kok rasanya tak seenak dulu. Atau lidah saya yang sudah berubah? Entahlah.

Apa yang paling saya suka selama liburan di tanah air? Tentunya menyantap buah manggis sampai puas. Menyantap mangga sampai puas. Makan nenas sampai puas. Apalagi? makan salak! Pokoknya buah buah seksi yang kalau di Swedia harus mandi air mata dulu bayarnya dan belum tentu enak.
Trus….trus apalagi? massage! Dung dung sambil tabur gendang. Muraaaaaah!
Ga keitung deh berapa kali mijet selama dua bulan lebih di tanah air. Norak skala internasional pokoknya.
Uda itu aja? ya kagalah masih ada. Hotelnya! mostly bikin terpana. Paling ga dengan harga yang relatif terjangkau, fasilitasnya relatif bagus dan bersih. Sehingga tak ayal di awal awal kedatangan, saya lumayan suka menginap di hotel dikarenakan kepanasan. Begitupun sewaktu suami baru tiba di tanah air. Nanti akan saya tulis terpisah hotel apa saja yang saya rekomen selama menginap di tanah air.


Ah meleleh ate ate ki eda…terharu membaca pas yang bagian berat meninggalkan keluarga. Aku juga tiap ninggalin orang mamak, saudara2 sepertinya hati ini tersayat- sayat. Disisi lain aku sangat nyaman tinggal di Denmark karena aman dan nyaman. Aku parnoan tiap kali jalan di Santar, Medan, sama tempat2 lain di Indonesia. Takut begal, jambret dsb nya.
LikeLike
Iya da, lungun kali ya. Mana nyampe Swedia uda lngsung holom. Makin melow. Perasaan akan takut di keramaian itu sepertinya efek ketenangan di tempat tinggal sekarang
LikeLike