Musim panas tahun ini adalah musim panas yang sepanas panasnya selama gue tinggal di Swedia. Mencapai 33 derajat celcius bahkan lebih. Jarang banget hujan. Dan sekalinya hujan cuma rintik rintik. Itupun cuma sebentar. Alhasil tanaman bunga dan sayuran serta rumput menjadi cepat kering.
Biasanya di musim panas, suami lumayan sering menggilas rumput di halaman sekitar rumah. Tapi tahun ini baru sekali doang. Rumput di sekitar rumah nyaris kehilangan kesegaran. Hijaunya berubah menjadi kuning gersang. Hidup segan mati tak mau. Sudah disiram air hingga beberapa jam tetap tak terlalu berpengaruh. Keringnya benar benar parah. Sampai blueberry di hutan pun nyaris tak terlihat buahnya. Kecil kemungkinan bisa dipetik dalam jumlah yang maksimal. Bahkan beberapa kenalan yang memelihara kuda, sedikit mengeluh karena kekurangan rumput untuk makanan ternak.
Meskipun begitu, gue lebih memilih musim panas yang seperti ini. Real summer. Bukan musim panas yang harus tetap jaketan karena berasa dingin. Bukan juga summer yang lebih sering hujan, angin kencang dan mendung. Pakai tank top dan shorts kaga bisa. Bah…malas banget.

Pokoknya musim panas tahun ini sangat gue nikmati. Aktivitas di luar tidak terganggu. Nanam nanam, naik boat dan mancing di danau sebelah rumah, piknik, selonjoran di kursi halaman, sampai makan pun lebih sering di halaman depan rumah. Kulit gosong uda ga gue pikirilah. Sebodo aja. Kapan lagi mak bisa begini. Paling cuma sampai Agustus. September udah mulai dingin. Memble!
Berhubung tahun ini kami lebih fokus menikmati musim panas di Swedia, dan kebetulan juga cuacanya cerah, kami putuskan untuk lebih sering mengunjungi summer house yang tidak terlalu jauh dari rumah. Paling cuma 5 menit berkendara. Anggap saja kami lagi liburan dan menginap di cottage.

Dan lagi lagi baru tahun inilah gue betah berlama lama di summer house. Bisa seharian. Bahkan kami berencana akan menginap. Selama ini terkendala perasaan tak nyaman akan toilet yang berada di luar dan masih sangat tradisional. Trus kamar mandi kaga ada. Kalau mau mandi ya ke danau sekitar.

Cuma setelah benar benar dibersihkan oleh suami, ternyata masih bisa ditoleransi. Meski belum nyaman banget. Namanya toilet tua ya. Masih tradisional. Lagian rumah dekat ini, semisal malas banget ya tinggal ke toilet rumah aja. Kalau urusan mandi mah gampang. Gue ga wajib mandi tiap hari kok. Kecuali berasa keringatan banget. Hahaha.

Nah, sudah beberapa kali kami berlama lama di summer house. Gue sengaja bawa makanan dari rumah. Bahkan pernah terbersit ide, gimana kalau kami berdua makan siang cantik di halaman summer house? Sayang kan punya view kece malah dianggurin. Cari suasana bedalah ceritanya.
Dan akhirnya ide itu gue realisasikan. Gue masak pie salmon. Lahaplah makannya. Ternyata makan sambil dipelototin pohon pinus itu beda. Makan sambil dengerin kicau burung itu beda. Table setting bolehlah mirip ala ala restoran tapi nyatanya kami bukan di restoran. Sekeliling kami cuma nature. Justru sensasi beda inilah yang gue suka. Kami makan diantara nature yang masih ramah. Danau kecil, semilir angin, love bangetlah. Tinggal beruang aja yang ga keluar. Hahahaha.
Gue sempat mikir, kemana aja selama ini? kok bisa ga kepikiran berlama lama di sini. Ketagihanlah akhirnya. Datang, selonjoran layaknya di pantai tapi bukan di pantai. Melainkan di hutan! Gue menatap langit biru plus awan awannya. Juga ranting pinus yang saling bertemu. Tidur ahhhhh. Zzzzzzzzzzzz.

Pernah suatu waktu turun hujan. Tapi cuma rintik rintik dan itupun tidak lama. Gue sengaja ga masuk ke dalam. Gue cuma duduk bengong di teras sambil menatap ke arah danau. Mencium bau tanah yang terkena air hujan. Ihhhh suka!
Belum lagi kalau melihat suami mendayung canoe. Rasanya heaven banget hanya dia seorang di tengah air itu. Hening. Sesekali cuma terdengar percik air ketika dayung canoe menyentuh air. Duhhh, beneran jauh dari hingar bingar.

Summer house ini merupakan peninggalan keluarga suami. Dibangun oleh kakeknya pada tahun 1931. Sudah berumur 87 tahun. Bangunannya rustic dan fotogenik. Sehingga tak ayal kamera gue tak lelah menciduk.
Bagi yang suka nuansa vintage, kemungkinan besar suka suasana di dalamnya. Teman kerja gue pernah berkunjung ke sini. Langsung jatuh hati dia. Dia bilang cukup duduk bengong, minum kopi, udah puas dia.
Selain itu, summer house ini punya guest house kecil. Seperti rumah rumahan. Gue menyebutnya rumah liliput. Tapi begitu dibuka ya lumayan mampu menampung orang. Ada perapiannya pula. Hahaha. Niat bangetlah pokoknya si mendiang kakek bangun ini. Bentuk cerobong asapnya aja dari batu batu gitu. Beneran kayak rumah kartun.

Dan tahun ini, kami sudah mantap akan menyewakan summer house ini ke publik. Karena tidak setiap saat juga kami berkunjung ke sini. Sayang juga dibiarkan kosong. Kami sudah pasang infonya di blocket.se. Nothing to loselah.
Dan sejauh ini sudah ada beberapa orang yang ngebooking untuk 5 hari dan dua hari di bulan Agustus. Kebetulan ada pertandingan olahraga sepeda di kota terdekat. Semoga rejeki ya. Kalau tidak ada halangan, lusa rencananya kami akan ke summer house lagi. Gue sukaaaaaaa!
Berkunjung ke summer house menjadi alternatif menghabiskan liburan musim panas di Swedia. Selain itu, rumah musim panas ibarat tempat meditasi bagi para pemilik dan pengunjungnya, karena sebagian besar dibangun di area yang privat. Dekat dengan alam, tidak terlalu ramai (menjurus sepi), bahkan menyendiri di tengah hutan. Sebelumnya, gue sudah pernah menulis uraian lengkap tentang summer house di Swedia berikut foto fotonya yang lucu. Bisa baca di sini.